Senin, 03 Maret 2008

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DI NANGGRO ACEH DARUSSALAM

PENDAHULUAN

Ada dua peristiwa besar dalam dasawarsa ini, yang telah merubah pola kehidupan dan struktur sosial masyarakat Aceh, yakni gempa dan tsunami pada akhir tahun 2004 dan juga konflik bersenjata berkepanjangan yang Alhamdulillah dapat diakhiri pada tahun 2005 di meja perundingan. Dalam bahasa yang lebih sosiologis, perubahan pola kehidupan dan struktur sosial tersebut dapat dipahami sebagai suatu gejala meluasnya berbagai permasalahan sosial klasik dan kontemporer.

Permasalahan sosial yang klasik mengemuka dalam bentuk antara lain meningkatnya penyandang cacat tubuh akibat korban konflik senjata maupun gempa dan tsunami. Atau juga meningkatnya jumlah anak yatim-piatu dan juga janda serta orang jompo yang membutuhkan santunan. Intinya, permasalahan sosial klasik ini adalah bentuk masalah sosial yang telah dikenal manusia sejak sejak peradaban manusia itu sendiri ada.

Sementara permasalahan sosial kontemporer muncul dalam bentuk yang lebih beragam, seperti misalnya trauma psikososial yang dapat membuat seseorang menjadi sulit untuk bisa menjalankan fungsi sosialnya. Atau juga dalam bentuk lunturnya kohesi dan solidaritas sosial demi mempertahankan hidup masing-masing orang dalam suatu komunitas. Dalam sebuah artikel di harian Kompas 12 Mei 2006, diuraikan kisah bagaimana seorang pemilik tanah telah tega mengusir pengungsi korban tsunami yang menumpang hidup di tenda sementara di atas tanah miliknya.

Meluasnya permasalahan sosial di Aceh ini, tentunya menjadi keprihatinan banyak pihak, termasuk segolongan masyarakat Aceh sendiri yang terdorong untuk membantu sesamanya. Dalam konteks masyarakat Aceh yang religius, praktek voluterisme atau kerelawanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Menurut Canda & Furman (1999: 137-140), agama yang diajarkan oleh Muhammad (baca: agama Islam) telah mendorong terjadinya reformasi sosial yang mengedepankan kepentingan anak-anak, perempuan, kelompok tidak mampu (fakir miskin) dan kelompok-kelompok lain yang dirugikan. Artinya, permasalahan sosial klasik secara otomatis—pada tataran yang sangat sederhana—akan mampu diatasi oleh masyarakat Aceh sendiri yang memang secara utuh menjalankan syariat Islam. Masyarakat akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemerintah daerah—dalam hal ini adalah Dinas Sosial—dalam memberikan bantuan dan santunan kepada para janda, anak yatim, orang jompo dan lain-lain.

Namun permasalahan sebenarnya adalah bagaimana mengatasi permasalahan sosial kontemporer yang juga terus berkembang. Tentunya akan sangat riskan jika permasalahan tersebut diatasi dengan dasar voluntarisme semata. Orang yang mengalami trauma psikososial (masyarakat awam menyebutnya dengan orang stress) tentunya tidak bisa dibantu oleh sembarang orang. Butuh pendekatan tertentu untuk mampu mengintegrasikan kembali fungsi sosial orang tersebut terhadap lingkungannya. Jadi pada prinsipnya, jika ada orang stress maka orang yang ada di lingkungannya akan ikut menentukan apakah ia akan sembuh atau stress selamanya.

Salah satu disiplin ilmu yang membahas teknik dan pendekatan dalam membantu mengatasi masalah sosial, khususnya masalah sosial kontemporer, adalah ilmu kesejahteraan sosial. Tulisan ini berikutnya akan menguraikan secara lebih spesifik tentang apa itu ilmu kesejahteraan sosial dan juga apa relevansinya ilmu kesejahteraan sosial dengan konteks masyarakat Aceh yang telah berubah pasca konflik bersenjata dan tsunami.

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM TATARAN PRAKTEK

Sejak tahap tanggap darurat pasca tsunami di Aceh, sebenarnya telah banyak individu yang berbekal ilmu kesejahteraan datang ke tanah Aceh untuk membantu. Mereka ini adalah pekerja sosial yang tidak bekerja semata-mata karena alasan kemanusiaan, namun juga dapat bekerja secara profesional berlandaskan pada seperangkat nilai etika, pengetahuan dan juga tentunya keterampilan.

Berdasarkan data yang dimiliki IPSPI pada tahun 2006, dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, jumlah mereka bertambah secara signifikan. Para pekerja sosial profesional ini umumnya merupakan lulusan perguruan tinggi kesejahteraan sosial di Jawa, seperti: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Universitas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Univeritas Padjajaran (Unpad), STISIP Widuri, dll. Mereka bekerja dalam berbagai instansi yang bekerja dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, tidak hanya di NGO dan badan internasional tetapi juga di instansi pemerintah seperti Dinas Sosial dan BRR.

Lantas apa yang mereka kerjakan di Aceh terkait dengan disiplin ilmu yang mereka miliki? Menurut Adi (2005: 12), mereka ini adalah orang-orang yang dibekali oleh ilmu yang memfokuskan pekerjaannya untuk melakukan intervensi pada proses interaksi antara manusia, dengan lingkungannya, dengan mengutamakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam pemahaman ini, ada banyak setting dimana para pekerja sosial profesional ini bisa bekerja, terutama yang terkait dengan isu masalah-masalah sosial kontemporer.

Dalam tataran praktis, mereka bekerja untuk berbagai bidang penanganan, diantaranya: pembangunan perumahan secara partisipatif; pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam konteks pengungsian dan relokasi; penanganan trauma psikososial melalui intervensi sosial klinis; advokasi pengarus-utamaan sumber penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood); perlindungan dan sistem kesejahteraan anak yang berbasis keluarga dan masyarakat; dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pekerja sosial profesional yang bekerja di Aceh selama ini telah memasuki tingkatan intervensi yang cukup beragam, dari tingkat mikro, mezzo maupun makro. Di tingkat mikro misalnya kegiatan intervensi sosial klinis, melalui kegiatan konseling dan terapi kelompok (group therapy); di tingkat mezzo seperti pengupayaan pendekatan partisipatif dalam pembangunan perumahan untuk korban tsunami; dan di tingkat makro adalah pengelolaan berbagai sumber daya daerah untuk mengarus-utamakan pola sumber penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood).

Hal ini menegaskan bahwa, dalam tataran praktis, ilmu kesejahteraan sosial bukan hanya bermanfaat bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami semata, melainkan juga memang sangat dibutuhkan untuk terus menjamin berjalannya proses sosial yang manusiawi dan mengedepankan pentingnya keberfungsian sosial setiap elemen masyarakat dari tingkatan struktur yang berbeda-beda. Artinya urgensi ilmu kesejahteraan sosial bagi masyarakat Aceh sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Masyarakat Aceh pastilah sangat membutuhkan putra-putri terbaiknya untuk dibekali dengan disiplin ilmu kesejahteraan sosial oleh institusi pendidikan tinggi lokal, yang pastinya akan lebih sensitif terhadap berbagai kearifan lokal dan juga isu-isu spesifik lainnya. Sehingga mereka dapat terlibat juga dalam perubahan masyarakat Aceh yang dinamis namun konstruktif bagi kesejahteraan masyarakat banyak dalam jangka panjang.

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM TATARAN AKADEMIK

Dalam uraian di atas, sebenarnya ada terminologi lain yang digunakan untuk menjelaskan ilmu kesejahteraan sosial, yakni pekerjaan sosial. Secara konseptual, dalam praktek di beberapa negara di luar Indonesia, istilah ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial merupakan dua disiplin yang terpisah (Adi, 2005: 19-23). Di Negara maju pada umumnya, ilmu kesejahteraan sosial mengacu pada konteks yang lebih makro, seperti misalnya pada upaya advokasi dan perubahan sistemik yang mempromosikan kesejahteraan masyarakat secara umum. Sementara, pekerjaan sosial lebih mengacu pada konteks mikro intervensi sosial, yakni seperti bimbingan sosial klinis dan terapi kelompok.

Menurut Payne (1997) dan Zastrow (1996), perbedaan mendasar dari disiplin ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial dapat dilihat dari pengaruh disiplin ilmu dominan yang melatarbelakanginya. Disiplin ilmu kesejahteraan sosial sangat dominan dipengaruhi oleh disiplin sosiologi, yang mengedepankan analytical skills; sedangkan disiplin pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh disiplin psikologi, yang mengedepankan technical skills. Namun demikian, Adi (2005: 22) menegaskan bahwa saat ini di negara-negara maju telah berkembang kecenderungan untuk menggabungkan kedua disiplin tersebut ke dalam satu departemen atau school tertentu.

Sementara di Indonesia, pada tingkat perguruan tinggi seluruhnya menggunakan istilah ilmu kesejahteraan sosial, sedangkan pada tingkat sekolah menengah menggunakan istilah pekerjaan sosial atau dikenal dengan Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS, yang sekarang sudah berubah menjadi SMK Peksos). Penggunaan terminologi yang berbeda ini pada prinsipnya tidak mengganggu keutuhan konseptual dan metodologis diantara keduanya. Dalam lingkungan pendidikan tinggi Ilmu kesejahteraan sosial di Indonesia (yang saat ini telah berjumlah 32 perguruan tinggi), penggunaan istilah kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial secara komplementer sekaligus substitutif sudah sangat dimaklumi.

Pilihan untuk menggunakan istilah kesejahteraan sosial daripada pekerjaan sosial pada tingkatan perguruan tinggi di Indonesia lebih merupakan alasan keluasan perspektif semata, dimana para sarjana lulusannya akan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya generic. Artinya, sarjana ilmu kesejahteraan sosial dapat bekerja sebagai pekerja sosial (social worker), yang bekerja di level mikro; atau juga bekerja sebagai praktisi kesejahteraan sosial (social welfare practitioner), yang bekerja di level mezzo dan makro. Hal ini ditegaskan oleh Zastrow (1996: 6-7) bahwa praktek yang sama juga terjadi di Amerika Serikat.

Terlepas apakah sarjana ilmu kesejahteraan sosial itu, akan bekerja pada level mikro, mezzo ataupun makro, ia harus mampu bekerja di lima bidang yang merupakan parameter utama kesejahteraan sosial menurut Spicker (1988: 3), yakni bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial.

Penguasaan di lima bidang ini merupakan bentuk sifat generic, yang diharapkan dapat dimiliki oleh sarjana ilmu kesejahteraan sosial. Sehingga kemudian sarjana ilmu kesejahteraan sosial dapat disebut juga sebagai tenaga terdidik yang melakukan praktek generalis (generalist practice) di bidang ilmu kesejahteraan sosial.

Hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa sifat generic dari hasil end product disiplin ilmu kesejahteraan sosial, tidak secara otomatis membuat sarjana ilmu kesejahteraan sosial menjadi kehilangan fokus dalam menjalankan intervensi sosial. Kompetensi dasar yang dimiliki oleh sarjana ilmu kesejahteraan sosial adalah kemampuan untuk melakukan metode perubahan berencana pada level-level yang berbeda. Jadi sifat generic yang dimaksud adalah lebih kepada keluasan bidang dan tingkatan kerja yang harus mampu dikerjakan oleh seorang sarjana ilmu kesejahteraan sosial.

PROSPEK ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DI ACEH

Dari uraian tentang tataran praktis di atas dapat kita lihat bahwa pada saat ini telah banyak sarjana ilmu kesejahteraan sosial atau pekerja sosial profesional yang memang bekerja di Aceh dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Namun sayangnya mereka hanya sementara saja berada di bumi Aceh. Setelah kontrak mereka habis, atau katakanlah setelah masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berakhir pada tahun 2009, mereka akan kembali ke daerahnya masing-masing atau mencari tempat lain untuk bisa tetap bekerja sebagai pekerja sosial profesional.

Sementara kalaupun ada sebagian kecil pekerja sosial yang menetap di Aceh karena bekerja lebih permanen, misalnya di Dinas Sosial, bekal keilmuan mereka selama menjalani pendidikan di bidang ilmu kesejahteraan sosial di Jawa pastilah belum mampu mengakomodir kearifan lokal masyarakat Aceh. Mereka pastinya akan menemukan kesulitan untuk menerjemahkan konsp-konsep dan teori ke dalam realitas masyarakat di Aceh, karena memang perguruan tinggi di Jawa tidak terlalu memperhatikan dinamika yang terjadi di Aceh.

Sedangkan dalam tataran akademik masih belum ada satu pun lembaga pendidikan tinggi yang membuka program sarjana dalam disiplin ilmu kesejahteraan sosial di Aceh. Kondisi ini tentunya harus dipahami sebagai prospek yang sangat baik bagi pengembangan jurusan atau program ilmu kesejahteraan social, khususnya di IAIN Ar-Raniry. Ada dua alasan utama untuk itu, pertama karena demand terhadap pasar tenaga pekerja sosial ataupun sarjana ilmu kesejahteraan sosial saat ini dan di masa yang akan datang akan tetap tinggi, sebagai konsekuensi dinamika masyarakat Aceh yang akan terus terjadi; kedua karena IAIN Ar-Raniry adalah institusi pendidikan tinggi pertama di Aceh yang berinisiatif untuk mengantisipasi ketersediaan tenaga pekerja sosial di masa yang akan datang.

PENUTUP

Peristiwa gempa dan tsunami serta berakhirnya konflik bersenjata di Nanggro Aceh Darussalam merupakan momentum yang sangat penting dalam kerangka perikehidupan sosial masayarakat Aceh di masa yang akan datang. Di satu sisi, peristiwa tersebut telah memperluas berbagai permasalahan sosial, baik yang bersifat klasik maupun masalah sosial kontemporer. Sementara di sisi lain, peristiwa tsunami dan berakhirnya konflik bersenjata juga telah menjadi katalis bagi dinamika sosial yang semakin cepat, khususnya setelah semakin banyaknya organisasi dan badan dunia yang bekerja di Aceh selama masa rekonstroksi dan rehabilitasi.

Momentum tersebut dapat menjadi entry point yang paling baik untuk melihat sejauhmana urgensi praktek ilmu kesejahteraan sosial di Aceh saat ini dan juga prospek pengembangan pendidikan tinggi ilmu kesejahteraan sosial di masa yang akan datang. Hingga akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa disadari atau tidak, ilmu kesejahteraan sosial telah hadir dalam denyut nadi kehidupan masyarakat Aceh. Dan bagaimana kelanjutan dari keberadaan ilmu kesejahteraan sosial di Nanggro Aceh Darussalam di masa yang akan datang? Itu tergantung pada masyarakat Aceh sendiri, khususnya para masyarakat akademiknya.

REFERENSI

Adi, Isbandi Rukminto (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Edisi revisi. Jakarta: FISIP UI Press.

Canda, Edward R. & Leola Dyrud Furman (1999). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. New York: The free Press.

Comton, Beulah R. & Burt Galaway (1994). Social Work Process. California: Cole Publishing Co.

Payne, Malcom (1997). Modern Social work Theory. 2nd edition. London: MacMillan Press Ltd.

Spicker, Paul (1988). Principles of Social Welfare. London: Routledge.

Zastrow. Charles A (1996). Introduction to Social Work and Social Welfare. Sixth edition. Pacivic Grove: Brooks/Cole Publishing Company.