Senin, 03 Maret 2008

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DI NANGGRO ACEH DARUSSALAM

PENDAHULUAN

Ada dua peristiwa besar dalam dasawarsa ini, yang telah merubah pola kehidupan dan struktur sosial masyarakat Aceh, yakni gempa dan tsunami pada akhir tahun 2004 dan juga konflik bersenjata berkepanjangan yang Alhamdulillah dapat diakhiri pada tahun 2005 di meja perundingan. Dalam bahasa yang lebih sosiologis, perubahan pola kehidupan dan struktur sosial tersebut dapat dipahami sebagai suatu gejala meluasnya berbagai permasalahan sosial klasik dan kontemporer.

Permasalahan sosial yang klasik mengemuka dalam bentuk antara lain meningkatnya penyandang cacat tubuh akibat korban konflik senjata maupun gempa dan tsunami. Atau juga meningkatnya jumlah anak yatim-piatu dan juga janda serta orang jompo yang membutuhkan santunan. Intinya, permasalahan sosial klasik ini adalah bentuk masalah sosial yang telah dikenal manusia sejak sejak peradaban manusia itu sendiri ada.

Sementara permasalahan sosial kontemporer muncul dalam bentuk yang lebih beragam, seperti misalnya trauma psikososial yang dapat membuat seseorang menjadi sulit untuk bisa menjalankan fungsi sosialnya. Atau juga dalam bentuk lunturnya kohesi dan solidaritas sosial demi mempertahankan hidup masing-masing orang dalam suatu komunitas. Dalam sebuah artikel di harian Kompas 12 Mei 2006, diuraikan kisah bagaimana seorang pemilik tanah telah tega mengusir pengungsi korban tsunami yang menumpang hidup di tenda sementara di atas tanah miliknya.

Meluasnya permasalahan sosial di Aceh ini, tentunya menjadi keprihatinan banyak pihak, termasuk segolongan masyarakat Aceh sendiri yang terdorong untuk membantu sesamanya. Dalam konteks masyarakat Aceh yang religius, praktek voluterisme atau kerelawanan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Menurut Canda & Furman (1999: 137-140), agama yang diajarkan oleh Muhammad (baca: agama Islam) telah mendorong terjadinya reformasi sosial yang mengedepankan kepentingan anak-anak, perempuan, kelompok tidak mampu (fakir miskin) dan kelompok-kelompok lain yang dirugikan. Artinya, permasalahan sosial klasik secara otomatis—pada tataran yang sangat sederhana—akan mampu diatasi oleh masyarakat Aceh sendiri yang memang secara utuh menjalankan syariat Islam. Masyarakat akan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya pemerintah daerah—dalam hal ini adalah Dinas Sosial—dalam memberikan bantuan dan santunan kepada para janda, anak yatim, orang jompo dan lain-lain.

Namun permasalahan sebenarnya adalah bagaimana mengatasi permasalahan sosial kontemporer yang juga terus berkembang. Tentunya akan sangat riskan jika permasalahan tersebut diatasi dengan dasar voluntarisme semata. Orang yang mengalami trauma psikososial (masyarakat awam menyebutnya dengan orang stress) tentunya tidak bisa dibantu oleh sembarang orang. Butuh pendekatan tertentu untuk mampu mengintegrasikan kembali fungsi sosial orang tersebut terhadap lingkungannya. Jadi pada prinsipnya, jika ada orang stress maka orang yang ada di lingkungannya akan ikut menentukan apakah ia akan sembuh atau stress selamanya.

Salah satu disiplin ilmu yang membahas teknik dan pendekatan dalam membantu mengatasi masalah sosial, khususnya masalah sosial kontemporer, adalah ilmu kesejahteraan sosial. Tulisan ini berikutnya akan menguraikan secara lebih spesifik tentang apa itu ilmu kesejahteraan sosial dan juga apa relevansinya ilmu kesejahteraan sosial dengan konteks masyarakat Aceh yang telah berubah pasca konflik bersenjata dan tsunami.

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM TATARAN PRAKTEK

Sejak tahap tanggap darurat pasca tsunami di Aceh, sebenarnya telah banyak individu yang berbekal ilmu kesejahteraan datang ke tanah Aceh untuk membantu. Mereka ini adalah pekerja sosial yang tidak bekerja semata-mata karena alasan kemanusiaan, namun juga dapat bekerja secara profesional berlandaskan pada seperangkat nilai etika, pengetahuan dan juga tentunya keterampilan.

Berdasarkan data yang dimiliki IPSPI pada tahun 2006, dalam tahap rehabilitasi dan rekonstruksi, jumlah mereka bertambah secara signifikan. Para pekerja sosial profesional ini umumnya merupakan lulusan perguruan tinggi kesejahteraan sosial di Jawa, seperti: Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS), Universitas Indonesia (UI), Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Univeritas Padjajaran (Unpad), STISIP Widuri, dll. Mereka bekerja dalam berbagai instansi yang bekerja dalam upaya rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami, tidak hanya di NGO dan badan internasional tetapi juga di instansi pemerintah seperti Dinas Sosial dan BRR.

Lantas apa yang mereka kerjakan di Aceh terkait dengan disiplin ilmu yang mereka miliki? Menurut Adi (2005: 12), mereka ini adalah orang-orang yang dibekali oleh ilmu yang memfokuskan pekerjaannya untuk melakukan intervensi pada proses interaksi antara manusia, dengan lingkungannya, dengan mengutamakan teori-teori perilaku manusia dan sistem sosial guna meningkatkan taraf hidup masyarakat. Dalam pemahaman ini, ada banyak setting dimana para pekerja sosial profesional ini bisa bekerja, terutama yang terkait dengan isu masalah-masalah sosial kontemporer.

Dalam tataran praktis, mereka bekerja untuk berbagai bidang penanganan, diantaranya: pembangunan perumahan secara partisipatif; pengorganisasian dan pengembangan masyarakat dalam konteks pengungsian dan relokasi; penanganan trauma psikososial melalui intervensi sosial klinis; advokasi pengarus-utamaan sumber penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood); perlindungan dan sistem kesejahteraan anak yang berbasis keluarga dan masyarakat; dan lain sebagainya.

Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pekerja sosial profesional yang bekerja di Aceh selama ini telah memasuki tingkatan intervensi yang cukup beragam, dari tingkat mikro, mezzo maupun makro. Di tingkat mikro misalnya kegiatan intervensi sosial klinis, melalui kegiatan konseling dan terapi kelompok (group therapy); di tingkat mezzo seperti pengupayaan pendekatan partisipatif dalam pembangunan perumahan untuk korban tsunami; dan di tingkat makro adalah pengelolaan berbagai sumber daya daerah untuk mengarus-utamakan pola sumber penghidupan yang berkelanjutan (sustainable livelihood).

Hal ini menegaskan bahwa, dalam tataran praktis, ilmu kesejahteraan sosial bukan hanya bermanfaat bagi proses rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh pasca tsunami semata, melainkan juga memang sangat dibutuhkan untuk terus menjamin berjalannya proses sosial yang manusiawi dan mengedepankan pentingnya keberfungsian sosial setiap elemen masyarakat dari tingkatan struktur yang berbeda-beda. Artinya urgensi ilmu kesejahteraan sosial bagi masyarakat Aceh sudah tidak perlu diperdebatkan lagi. Masyarakat Aceh pastilah sangat membutuhkan putra-putri terbaiknya untuk dibekali dengan disiplin ilmu kesejahteraan sosial oleh institusi pendidikan tinggi lokal, yang pastinya akan lebih sensitif terhadap berbagai kearifan lokal dan juga isu-isu spesifik lainnya. Sehingga mereka dapat terlibat juga dalam perubahan masyarakat Aceh yang dinamis namun konstruktif bagi kesejahteraan masyarakat banyak dalam jangka panjang.

ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DALAM TATARAN AKADEMIK

Dalam uraian di atas, sebenarnya ada terminologi lain yang digunakan untuk menjelaskan ilmu kesejahteraan sosial, yakni pekerjaan sosial. Secara konseptual, dalam praktek di beberapa negara di luar Indonesia, istilah ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial merupakan dua disiplin yang terpisah (Adi, 2005: 19-23). Di Negara maju pada umumnya, ilmu kesejahteraan sosial mengacu pada konteks yang lebih makro, seperti misalnya pada upaya advokasi dan perubahan sistemik yang mempromosikan kesejahteraan masyarakat secara umum. Sementara, pekerjaan sosial lebih mengacu pada konteks mikro intervensi sosial, yakni seperti bimbingan sosial klinis dan terapi kelompok.

Menurut Payne (1997) dan Zastrow (1996), perbedaan mendasar dari disiplin ilmu kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial dapat dilihat dari pengaruh disiplin ilmu dominan yang melatarbelakanginya. Disiplin ilmu kesejahteraan sosial sangat dominan dipengaruhi oleh disiplin sosiologi, yang mengedepankan analytical skills; sedangkan disiplin pekerjaan sosial sangat dipengaruhi oleh disiplin psikologi, yang mengedepankan technical skills. Namun demikian, Adi (2005: 22) menegaskan bahwa saat ini di negara-negara maju telah berkembang kecenderungan untuk menggabungkan kedua disiplin tersebut ke dalam satu departemen atau school tertentu.

Sementara di Indonesia, pada tingkat perguruan tinggi seluruhnya menggunakan istilah ilmu kesejahteraan sosial, sedangkan pada tingkat sekolah menengah menggunakan istilah pekerjaan sosial atau dikenal dengan Sekolah Menengah Pekerjaan Sosial (SMPS, yang sekarang sudah berubah menjadi SMK Peksos). Penggunaan terminologi yang berbeda ini pada prinsipnya tidak mengganggu keutuhan konseptual dan metodologis diantara keduanya. Dalam lingkungan pendidikan tinggi Ilmu kesejahteraan sosial di Indonesia (yang saat ini telah berjumlah 32 perguruan tinggi), penggunaan istilah kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial secara komplementer sekaligus substitutif sudah sangat dimaklumi.

Pilihan untuk menggunakan istilah kesejahteraan sosial daripada pekerjaan sosial pada tingkatan perguruan tinggi di Indonesia lebih merupakan alasan keluasan perspektif semata, dimana para sarjana lulusannya akan menguasai pengetahuan dan keterampilan yang sifatnya generic. Artinya, sarjana ilmu kesejahteraan sosial dapat bekerja sebagai pekerja sosial (social worker), yang bekerja di level mikro; atau juga bekerja sebagai praktisi kesejahteraan sosial (social welfare practitioner), yang bekerja di level mezzo dan makro. Hal ini ditegaskan oleh Zastrow (1996: 6-7) bahwa praktek yang sama juga terjadi di Amerika Serikat.

Terlepas apakah sarjana ilmu kesejahteraan sosial itu, akan bekerja pada level mikro, mezzo ataupun makro, ia harus mampu bekerja di lima bidang yang merupakan parameter utama kesejahteraan sosial menurut Spicker (1988: 3), yakni bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, jaminan sosial dan pekerjaan sosial.

Penguasaan di lima bidang ini merupakan bentuk sifat generic, yang diharapkan dapat dimiliki oleh sarjana ilmu kesejahteraan sosial. Sehingga kemudian sarjana ilmu kesejahteraan sosial dapat disebut juga sebagai tenaga terdidik yang melakukan praktek generalis (generalist practice) di bidang ilmu kesejahteraan sosial.

Hal yang juga perlu dipahami adalah bahwa sifat generic dari hasil end product disiplin ilmu kesejahteraan sosial, tidak secara otomatis membuat sarjana ilmu kesejahteraan sosial menjadi kehilangan fokus dalam menjalankan intervensi sosial. Kompetensi dasar yang dimiliki oleh sarjana ilmu kesejahteraan sosial adalah kemampuan untuk melakukan metode perubahan berencana pada level-level yang berbeda. Jadi sifat generic yang dimaksud adalah lebih kepada keluasan bidang dan tingkatan kerja yang harus mampu dikerjakan oleh seorang sarjana ilmu kesejahteraan sosial.

PROSPEK ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL DI ACEH

Dari uraian tentang tataran praktis di atas dapat kita lihat bahwa pada saat ini telah banyak sarjana ilmu kesejahteraan sosial atau pekerja sosial profesional yang memang bekerja di Aceh dalam rangka rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh. Namun sayangnya mereka hanya sementara saja berada di bumi Aceh. Setelah kontrak mereka habis, atau katakanlah setelah masa rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh berakhir pada tahun 2009, mereka akan kembali ke daerahnya masing-masing atau mencari tempat lain untuk bisa tetap bekerja sebagai pekerja sosial profesional.

Sementara kalaupun ada sebagian kecil pekerja sosial yang menetap di Aceh karena bekerja lebih permanen, misalnya di Dinas Sosial, bekal keilmuan mereka selama menjalani pendidikan di bidang ilmu kesejahteraan sosial di Jawa pastilah belum mampu mengakomodir kearifan lokal masyarakat Aceh. Mereka pastinya akan menemukan kesulitan untuk menerjemahkan konsp-konsep dan teori ke dalam realitas masyarakat di Aceh, karena memang perguruan tinggi di Jawa tidak terlalu memperhatikan dinamika yang terjadi di Aceh.

Sedangkan dalam tataran akademik masih belum ada satu pun lembaga pendidikan tinggi yang membuka program sarjana dalam disiplin ilmu kesejahteraan sosial di Aceh. Kondisi ini tentunya harus dipahami sebagai prospek yang sangat baik bagi pengembangan jurusan atau program ilmu kesejahteraan social, khususnya di IAIN Ar-Raniry. Ada dua alasan utama untuk itu, pertama karena demand terhadap pasar tenaga pekerja sosial ataupun sarjana ilmu kesejahteraan sosial saat ini dan di masa yang akan datang akan tetap tinggi, sebagai konsekuensi dinamika masyarakat Aceh yang akan terus terjadi; kedua karena IAIN Ar-Raniry adalah institusi pendidikan tinggi pertama di Aceh yang berinisiatif untuk mengantisipasi ketersediaan tenaga pekerja sosial di masa yang akan datang.

PENUTUP

Peristiwa gempa dan tsunami serta berakhirnya konflik bersenjata di Nanggro Aceh Darussalam merupakan momentum yang sangat penting dalam kerangka perikehidupan sosial masayarakat Aceh di masa yang akan datang. Di satu sisi, peristiwa tersebut telah memperluas berbagai permasalahan sosial, baik yang bersifat klasik maupun masalah sosial kontemporer. Sementara di sisi lain, peristiwa tsunami dan berakhirnya konflik bersenjata juga telah menjadi katalis bagi dinamika sosial yang semakin cepat, khususnya setelah semakin banyaknya organisasi dan badan dunia yang bekerja di Aceh selama masa rekonstroksi dan rehabilitasi.

Momentum tersebut dapat menjadi entry point yang paling baik untuk melihat sejauhmana urgensi praktek ilmu kesejahteraan sosial di Aceh saat ini dan juga prospek pengembangan pendidikan tinggi ilmu kesejahteraan sosial di masa yang akan datang. Hingga akhirnya kita sampai pada kesimpulan bahwa disadari atau tidak, ilmu kesejahteraan sosial telah hadir dalam denyut nadi kehidupan masyarakat Aceh. Dan bagaimana kelanjutan dari keberadaan ilmu kesejahteraan sosial di Nanggro Aceh Darussalam di masa yang akan datang? Itu tergantung pada masyarakat Aceh sendiri, khususnya para masyarakat akademiknya.

REFERENSI

Adi, Isbandi Rukminto (2005). Ilmu Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial: Pengantar pada Pengertian dan Beberapa Pokok Bahasan. Edisi revisi. Jakarta: FISIP UI Press.

Canda, Edward R. & Leola Dyrud Furman (1999). Spiritual Diversity in Social Work Practice: The Heart of Helping. New York: The free Press.

Comton, Beulah R. & Burt Galaway (1994). Social Work Process. California: Cole Publishing Co.

Payne, Malcom (1997). Modern Social work Theory. 2nd edition. London: MacMillan Press Ltd.

Spicker, Paul (1988). Principles of Social Welfare. London: Routledge.

Zastrow. Charles A (1996). Introduction to Social Work and Social Welfare. Sixth edition. Pacivic Grove: Brooks/Cole Publishing Company.

Kamis, 06 September 2007

Gambaran Singkat Rusunawa di Batam (Ringkasan Hasil Studi Pengelolaan Pembiayaan Rusunawa)


Dalam survey rusunawa di Batam, ada 6 lokasi rusunawa yang dijadikan obyek survey, yakni:

  • Rusunawa yang dikelola oleh Pemko Batam, berlokasi di Muka Kuning.
  • Rusunawa BIDA Kuning yang dikelola BIDA (Batam Industrial Development Authority), berlokasi di Muka Kuning.
  • Rusunawa BIDA Ampar yang dikelola BIDA (Batam Industrial Development Authority), berlokasi di Batu Ampar.
  • Rusunawa BIDA Sekupang, yang dikelola BIDA (Batam Industrial Development Authority), berlokasi di Sekupang.
  • Rusunawa yang dikelola Perumnas, berlokasi di Tanjung Piayu.
  • Rusunawa Bumi Lancang Kuning yang dikelola perusahaan kontraktor Jamsostek, berlokasi di Batu Ampar.

Kompleks Rusunawa Muka Kuning

Keenam rusunawa ini memang ditujukan untuk menampung para pekerja di beberapa kawasan industri yang ada di Pulau Batam. Namun selain keenam rusunawa tersebut, telah ada 2 twin blok rusunawa yang siap dioperasikan, yakni yang berada di kompleks rusunawa Muka Kuning dan kawasan rusunawa milik Perumnas. Kedua twin blok tersebut, konstruksinya dibangun oleh Menpera RI. Selain itu ada pula pula lokasi yang telah dipasang tiang pancang pondasi dan segera akan dibangunkan konstruksi untuk rusunawa, masing-masing berlokasi di kompleks rusunawa BIDA Sekupang dan di kompleks rusunawa Muka Kuning.

Meskipun keenam rusunawa yang telah beroperasi tersebut secara logika seharusnya semua rusunawa tersebut akan penuh tingkat huniannya mengingat perkembangan kawasan industri di Kota Batam, namun tampaknya hal tersebut tidaklah terbukti. Ternyata ada kawasan rusunawa yang sangat tinggi tingkat huniannya, bahkan sampai mempunyai waiting list peminat yang ingin menghuni rusun, seperti yang terjadi di rusunawa Muka Kuning. Sebaliknya, rusunawa yang lain hanya mempunyai tingkat hunian yang bervariasi antara 60% – 85% saja.

Adapun perbedaan tingkat hunian rusunawa tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya:

  • Lokasi rusunawa yang dekat dengan kawasan industri dan akses transportasi yang memadai.
  • Pola kerjasama pengelola rusunawa dengan perusahaan tertentu yang menempatkan pekerjanya secara kolektif di rusunawa tertentu.
  • Meningkatnya penawaran kepemilikan rumah horizontal dengan harga yang terjangkau melalui skim kredit perumahan.

Berikut ini adalah uraian singkat mengenai keenam rusunawa tersebut berdasarkan kondisi fisik bangunan, kondisi lingkungan dan fasilitas dan juga mekanisme pengelolaan dan pembiayaannya.

Kondisi Fisik Bangunan

Pada umumnya, rusunawa yang berada di Batam berumur tidak lebih lebih dari 10 tahun. Bahkan rusunawa di kompleks Muka Kuning (yang dikelola BIDA dan Pemko) dan BIDA Ampar serta BIDA Sekupang, konstruksinya masih kurang dari 5 tahun. Hanya rusunawa yang dikelola Perumnas yang berlokasi di Tanjung Piayu saja yang usia konstruksinya sudah lebih dari 10 tahun.

Dengan demikian, secara teknis, kondisi fisik bangunan rusunawa yang berada di Batam masih bisa dikatakan dalam keadaan baik. Namun secara kasat mata kondisi fasad arsitektur dari rusunawa tersebut cukup bervariasi. Misalnya jika dibandingkan antara 2 rusunawa di kompleks Muka Kuning yang dikelola Pemko dan BIDA.

Rusunawa BIDA Kuning

Rusunawa yang dikelola Pemko usianya 1 tahun lebih muda daripada gedung rusunawa BIDA Kuning blok A-E (sementara blok F-I mungkin justru lebih muda dari blok yang dikelola Pemko), namun secara fisik bangunan tampak perbedaan yang sangat kontras. Tingkat kebocoran pada sistem pemipaan saluran air (plumbing system) di rusunawa yang dikelola Pemko yang berusia lebih muda ternyata justru lebih buruk kondisinya dibandingkan dengan yang ada di rusunawa yang dikelola BIDA.


Sementara dari segi fasad arsitekturnya,rusunawa yang dikelola Pemko memang lebih unggul. Dengan usia bangunan yang tidak terlalu berbeda dengan blok A-E di rusunawa keloaan BIDA, ternyata kondisi cat tembok bangunan rusun keloaan Pemko masih jauh lebih baik daripada milik BIDA. Salah seorang staf teknisi dan perawatan rusunawa BIDA Kuning mengakui bahwa untuk blok A-E, pada awalnya mereka memang menggunakan cat dengan kualitas yang agak rendah. Namun ia menambahkan bahwa pengelola sedang mengupayakan pengecatan kembali dengan cat yang berkualitas lebih baik. Sejauh ini upaya pengecatan ulang tersebut baru dilakukan pada blok A dan setengah di blok B saja.

Kondisi fisik bangunan yang relatif buruk, memang sangat berkaitan usia konstruksi bangunannya. Hal ini terbukti dengan fakta yang ditemukan di rusunawa kelolaan Perumnas di Bumi Piayu. Bukan hanya konstruksi bangunannya yang telah terlihat tidak kokoh lagi, tetapi juga kondisi fasadnya pun sangat buruk. Bekas-bekas kebocoran di dinding serta langit-langit setiap lantai berbekas sangat nyata, dan menunjukkan lamanya penanganan untuk hal itu. Dengan demikian, wajar saja tingkat hunian rusunawa ini adalah yang terendah dibandingkan rusunawa yang lain.

Kondisi Lingkungan dan Fasilitas

Hal yang cukup menarik diuraikan lebih lanjut dari rusunawa yang berada di Batam adalah hubungan gaya arsitektur dan pola perilaku penghuni yang cukup beragam. Sebagaimana rusunawa di tempat lain, ada 2 model dalam penataletakan atau orientasi twin blok rusun yakni model muka saling berhadapan dengan koridor di bagian dalam twin blok dan model saling membelakangi dengan koridor berada dibagian luar twin blok.

Konsep twin blok sendiri menunjukkan bahwa ada dua bangunan yang identik dan terhubung dengan koridor per lantai yang berhubungan langsung dengan tangga. Artinya kedua gedung yang dikatakan twin blok tersebut bukan hanya berdiri berdampingan dan memiliki kesamaan bentuk semata, tetapi juga terhubung satu sama lain di setiap lantainya dengan menggunakan tangga bersama.

Rusunawa Perumnas

Namun demikian, konsep twin blok ini ternyata dipahami berbeda oleh kontraktor yang membangun konstruksi rusunawa milik Perumnas. Rusunawa milik Perumnas (tidak hanya di Batam, tetapi juga seperti yang ditemui di Waru Gunung, Surabaya) ternyata tidak menerapkan konsep twin blok dalam arti connecting floor. Masing-masing gedung memiliki tangga sendiri-sendiri, sehingga lantai 2 hingga 4 tidak terhubung sama sekali.

Sementara 5 rusunawa lain menggunakan tangga sebagai connecting point dalam twin blok. Bahkan di rusunawa Sekupang, ada 1 twin blok yang ukuran per unit-nya 36 m2, tidak hanya memiliki satu connecting point antar blok yang biasanya ada di tengah gedung, tetapi juga memiliki connecting point di setiap sisi luar antar blok. Sehingga setiap lantai memiliki koridor yang jika dilihat dari atas berbentuk angka 8 (twin blok dengan 1 connecting point yang berada di tengah, jika dilihat dari atas akan berbentuk huruf H).

Dari segi orientasinya, memang hanya rusunawa kelolaan Pemko dan milik Jamsostek saja yang model twin blok-nya saling berhadapan. Sementara rusunawa BIDA dan Perumnas, orientasi twin blok-nya saling membelakangi. Logikanya, jika twin bloknya saling berhadapan maka bagian belakang unit rusun akan menghadap keluar, dan akan membuat tampilan gedung secara keseluruhan menjadi buruk akibat jemuran penghuni dan sebagainya. Sebaliknya, twin blok yang saling membelakangi akan ‘menyembunyikan’ jemuran penghuni di bagian dalam twin blok.

Namun ternyata hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Seperti misalnya rusunawa milik Jamsostek, meskipun orientasi twin bloknya saling berhadapan namun semua jemuran tetap harus berada di bagian dalam twin blok atau di depan unit hunian rusun, karena memang tidak ada tempat sama sekali di bagian belakang unit hunian rusun. Sebaliknya, di semua rusunawa BIDA dan Perumnas yang orientasinya saling membelakangi, ternyata jemuran penghuni justru menjadi ‘hiasan’ gedung dari kejauhan. Hal ini juga disebabkan karena tidak adanya tempat untuk menjemur di bagian belakang setiap unit hunian.

Dengan demikian, aspek kekumuhan dari suatu kawasan rusunawa bukanlah semata-mata dipengaruhi oleh perilaku penghuni semata. Namun juga dipengaruhi oleh fasilitas yang tersedia atau tidak tersedia di bangunan rusunawa tersebut. Kekumuhan dari suatu rusunawa dapat “disembunyikan” jika memang model dan fasilitas gedungnya memang direncanakan untuk itu.

Dari segi estetika, kondisi rusunawa yang terbaik adalah rusunawa milik Jamsostek. Bukan hanya dilengkapi dengan taman tanaman hias dan pohon-pohon rindang di lahan yang ada antar twin blok, tetapi juga penataan letak gedungnya tidak mengesankan rusun “murahan”. Secara fungsional, bahkan tersedia pula tempat duduk taman hampri disetiap pathway dan juga tersedianya fasilitas rumah baca bagi penghuni dan tamu rusunawa.

Taman asri di Rusunawa Bumi Lancang Kuning

Aspek estetika ini juga menjadi perhatian dari pengelola rusunawa BIDA Kuning. Jika sebelumnya pengelola telah terlanjur menyewakan sejumlah unit lantai 1 di blok E untuk fasilitas penyedia kebutuhan penghuni berupa kios makanan saji dan sembako, maka dalam waktu dekat ini fasilitas tersebut akan tersedia di tempat tersendiri. Pengelola mengakui bahwa inisiatif ini memang memakan biaya yang tidak sedikit. Tetapi dibandingkan dengan alasan kebersihan dan kenyamanan penghuni, maka biaya mahal tersebut menjadi tidak terlalu berarti.

Kontras dengan hal tersebut, rusunawa milik Perumnas tampaknya telah mengabaikan aspek estetika tersebut. Berdasarkan informasi dari pengelola, tingkat hunian mereka yang rendah bukanlah disebabkan oleh kondisi bangunan yang buruk. Tetapi karena tingkat hunian yang rendah, mereka jadi kesulitan untuk mendapatkan dana perawatan gedung yang memadai. Menurut mereka, rendahnya tingkat hunian di rusunawa Tanjung Piayu lebih disebabkan oleh alasan posisinya yang kurang strategis dan juga labelling dari sebagian masyarakat Batam bahwa daerah Tanjung Piayu adalah daerah yang tidak aman dan rawan kriminalitas.

Mekanisme Pengelolaan dan Pembiayaan

Secara umum ada 4 mekanisme kelembagaan pengelolaan rusunawa yang ada di Batam, terkait dengan pemilik atau pihak yang melakukan konstruksi awal, yakni:

  • Swa-kelola, seperti rusunawa Perumnas di Tanjung Piayu.
  • Dihibahkan kepada Pemda atau Pemko, seperti 2 twin blok yang berada di Muka Kuning.
  • Dihibahkan kepada BUMN atau unit kerja khusus dari pemerintah (misalnya BIDA), seperti rusunawa BIDA Kuning, BIDA Ampar dan BIDA Sekupang.
  • Dikelola oleh professional dengan mekanisme kontrak kerja, seperti rusunawa Bumi Lancang Kuning milik Jamsostek di Batu Ampar.

Pola swa-kelola yang diterapkan di rusunawa Perumnas bukanlah dalam arti yang eksklusif ditataran operasional. Swa-kelola yang dimaksud disini adalah dikelola oleh institusi Perumnas itu sendiri. Artinya, kendali pengelolaan tetaplah diarahkan oleh Perumnas pusat di Jakarta. Sehingga, bukan hanya aliran dana saja yang harus disetor ke Kantor pusat Perumnas di Jakarta, sebagian besar staf pengelola pun adalah merupakan tenaga yang ditugaskan dari Jakarta.

Dengan pola seperti ini, mekanisme pembiayaan rusunawa Perumnas pun menjadi sangat konvensional. Karena setiap dana yang masuk harus disetorkan tiap hari, maka praktis tidak ada dana yang tidak tercatat di kantor pusat Perumnas. Sementara untuk pengeluaran berbagai kebutuhan perawatan dan operasional pengelola, unit pengelola lapangan mengajukan anggaran kepada Perumnas setiap tahunnya.

Rusunawa yang dibangun Menpera di kompleks Perumnas

Kontras dengan pola tersebut, jamsostek justru menyerahkan pengelolaan rusunawa miliknya kepada kontraktor professional melalui proses tender. Dengan pola ini, pengelola yang terikat hubungan kontraktual dengan pemilik asset lebih leluasa dalam mengelola cash-flow rusunawa. Pengelola rusunawa Bumi lancing Kuning hanya perlu menyetorkan pemasukan dana dari sewa unit hunian dan unit usaha kepada Jamsostek setiap bulannya, itupun setelah dikurangi dengan berbagai biaya pengeluaran perawatan dan operasional pengelola (kecuali gaji staf).

Sementara untuk mekanisme hibah, baik yang kepada Pemko maupun BIDA, justru lebih fleksibel lagi dalam mengelola pembiayaannya. Seperti misalnya rusunawa kelolaan BIDA, meskipun manajemen (istilah yang digunakan untuk unit pengelola teknis di lokasi rusunawa) harus menyetor dana hasil sewa rusun kepada BIDA namun prosedur tidak terlalu rumit dan jarak antar manajemen dan BIDA tidak terlalu jauh sehingga hal-hal teknis dapat segera dikomunikasikan oleh pelaksana lapangan kepada pengambil kebijakannya. Hal ini tentunya berbeda dengan Jamsostek dan Perumnas yang berkantor pusat di Jakarta.

Lain halnya dengan rusunawa Pemko, sejak resmi disewakan kepada umum, uang sewa rusun masih dipegang oleh bendahara pengelola. Pengelola berkilah bahwa hingga saat ini tidak ada kejelasan tentang status pengelolaan rusunawa tersebut. DPRD sempat mempertanyakan mengenai status dana tersebut, tetapi kemudian belum ada tindak lanjutnya hingga saat ini.

Jika dikaitkan dengan standar pelayanan minimum (SPM), memang dikedua rusunawa ini tidak ada manual khusus yang mengatur SPM kepada para penghuninya. Namun dengan hubungan fungsional yang informal antara penghuni dan pengelola seperti yang ditemui di rusunawa BIDA Kuning, tampaknya urgensi dari manual SPM itu sendiri tampaknya dapat dikesampingkan. Pengelola rusunawa BIDA Kuning menyatakan bahwa mereka menerapkan hubungan kekeluargaan antara pengelola dan penghuni rusunawa. Menurut pengelola tersebut hampir seluruh penghuni rusunawa BIDA Kuning adalah anak muda yang baru lulus sekolah menengah dan baru saja mulai bekerja, sehingga mereka membutuhkan bimbingan.

Pandangan ini kemudian diterjemahkan dalam bentuk aturan tertentu yang sifatnya membatasi perilaku penghuni. Seperti misalnya batasan jam kunjungan bagi tamu penghuni rusun yang perempuan, atau juga keharusan pintu terbuka jika menerima tamu lawan jenis di ruang unit rusun, dan sebagainya. Bagi sebagian penghuni, aturan-aturan ini memang terkesan mengekang ruang gerak dan privasi mereka. Namun pengelola berkilah bahwa hal ini mereka lakukan dalam kerangka memberikan pelayanan untuk menciptakan kenyamanan bagi semua penghuni. Pengelola menambahkan bahwa untuk penghuni yang bersifat kolektif, yang dititipkan oleh perusahaan tertentu, aturan terhadap mereka justru ditetapkan oleh perusahaan masing-masing untuk dilaksanakan oleh pengelola rusunawa.

Dari segi harga sewanya, setiap pengelola menawarkan harga yang cukup variatif berkisar antara Rp 195.000,- hingga Rp 480.000,- per unitnya dengan pembedaan harga setiap lantainya, kecuali rusunawa Perumnas yang menyamaratakan harga sewa setiap lantainya. Namun berbeda dengan rusunawa lainnya, rusunawa kelolaan BIDA menawarkan sewa per orang bukan per unit. Yakni dengan harga antara Rp 85.000,- hingga Rp 115.000,- per orang.

Menurut salah seorang pengelola rusunawa BIDA Kuning, penetapan harga sewa minimal tersebut adalah dengan menggunakan formula 10% dari UMK yang berlaku di Batam, yang saat ini sebesar Rp 860.000,-. Ia menegaskan bahwa dengan formula tersebut, para penghuni yang umumnya buruh kontrak menjadi tidak terbebani secara berlebih untuk memperoleh tempat tinggal yang layak.

Adapun uraian mengenai perbandingan harga sewa dan potensi penerimaan dana sewa yang akan diterima oleh masing-masing pengelola dapat dilihat dalam uraian tabel berikut ini.

Pengelola

Harga sewa (dalam rupiah)

Total

unit/lantai/

twin blok

income / twinblok

Jumlah twin blok

Income/bulan

lantai 1

lantai 2

lantai 3

lantai 4

Pemko

240,000

225,000

210,000

195,000

870,000

20

17,400,000

2

34,800,000

BIDA Kuning

460,000

420,000

380,000

340,000

1,600,000

20

32,000,000

9

288,000,000

BIDA Ampar

460,000

420,000

380,000

340,000

1,600,000

20

32,000,000

4

96,000,000

BIDA Sekupang

460,000

420,000

380,000

340,000

1,600,000

20

32,000,000

3

128,000,000

Kontraktor Jamsostek

480,000

440,000

400,000

360,000

1,680,000

24

40,320,000

6

241,920,000

Perumnas

330,000

330,000

330,000

330,000

1,320,000

24

31,680,000

4

126,720,000

Rata-rata

377,500

353,750

330,000

306,250

1,367,500





Selasa, 14 Agustus 2007

Opini: Konsistensi Perjanjian Damai di Aceh

I can forgive, but I can’t forget

(Nelson Mandela)

Dua tahun sudah MoU Helsinki ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah RI dan perwakilan GAM. Telah banyak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh pasca penandatanganan Nota Kesepakatan perdamaian tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh telah berfungsinya kembali berbagai instrumen sosial, politik dan ekonomi yang diisyaratkan dalam MoU tersebut.

Proses demokrasi melalui pilkadalang tingkat propinsi pada akhir tahun lalu pun, seolah-olah menjadi bukti bahwa perbedaan ideologis sekalipun telah dapat disalurkan melalui jalur yang lebih elegan tanpa menggunakan kekerasan.

Namun, dalam konteks yang lebih spesifik, tampaknya masih ada sejumlah agenda penting yang perlu segera ditangani untuk menjamin terpeliharanya konsistensi perjanjian damai di Aceh. Lebih jauh lagi, agenda tersebut juga tidak hanya terkait dengan konsistensi perdamaian, melainkan juga menyangkut perikehidupan masyarakat Aceh sehari-hari.

Perspektif Korban

Agenda utama yang perlu untuk segera didorong pelaksanaannya adalah penanganan para korban konflik. Sebagaimana konflik yang terjadi di tempat lain, konflik bersenjata di Aceh telah merenggut banyak korban harta dan jiwa. Korban yang dimaksud tentunya juga termasuk masyarakat sipil yang tidak terlibat langsung sebagai pihak-pihak yang bertikait dalam konflik.

Pendataan secara menyeluruh tentang berapa banyak korban serta jenis kerugian atau kecacatan akibat konflik senjata memang perlu segera dilakukan. Tindakan ini haruslah dilakukan secara terorganisir oleh para pihak yang menandatangani MoU. Sehingga, meskipun tidak menyatakan secara eksplisit, MoU Helsinki dapat menjelma menjadi wahana penyelesaian konflik yang berperspektif korban.

Identifikasi dan pendataan korban konflik perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan skim mekanisme pemberian kompensasi yang bersifat material kepada para korban, tergantung pada derajat kerugian yang dialami. Hal ini mutlak harus dilakukan sebagai bagian dari upaya menjamin konsistensi damai itu sendiri. Para korban konflik Aceh pastinya dapat memaafkan dampak yang mereka rasakan akibat kesalahan pihak-pihak yang berkonflik. Namun mereka tidak akan dengan mudah melupakan rasa sakit dan bekas luka yang akan mereka bawa hingga mati.

Pemberian kompensasi bagi korban ini harus dipahami sebagai pisau bermata ganda yang dapat mempertahankan konsistensi perdamaian, sekaligus merupakan panacea bagi mayoritas masyarakat Aceh yang telah menjadi korban.

Penegakan HAM

Agenda berikutnya yang juga penting untuk didorong dalam rangka mewujudkan diktum MoU Helsinki adalah menegakkan keadilan hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana dapat dipahami dari sebagian pendapat ilmuwan sosial-politik, bahwa konflik Aceh adalah konflik yang bersifat vertikal. Artinya, konflik Aceh adalah bentuk kekerasan Negara terhadap rakyatnya. Dengan demikian Negara—yang dalam hal ini dilakukan TNI dan Polri—telah menjadi satu-satunya pihak yang melakukan pelanggaran HAM.

Namun, pemahaman yang cenderung menyederhanakan ini tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Dalam merekonstruksikan pelanggaran HAM di Aceh, pendekatan in-group dan out-group dapat menjadi kerangka penjelasan yang lebih logis. Dalam konteks pelanggaran HAM, tentunya ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang dilanggar HAM-nya. Dalam konstelasi sosiologisnya, in-group adalah majority yang mungkin saja ada banyak aktor didalamnya. Sedangkan out-group adalah minoritas. Maka pelanggar HAM adalah suatu in-group, dan korban pelanggaran HAM adalah out-group-nya.

Artinya, sebagai out-group, para korban pelanggaran HAM adalah minoritas. Mereka adalah aktor yang sendiri dalam kasus pelanggaran HAM. Sementara in-group bisa terdiri dari banyak pihak. Bisa saja TNI, bisa juga GAM ataupun pihak-pihak yang hanya mengaku sebagai GAM atau TNI.

Dalam pemahaman ini, setelah MoU ditandatangani konflik antara GAM dan pemerintah RI tidak lagi relevan. Konflik sebenarnya yang saat ini masih ada adalah antara para pelanggar HAM dan para korbannya. Oleh karena, sebagai salah satu mandat yang diamanatkan dalam MoU, maka peradilan HAM harus menjadi prioritas untuk segera digelar di Aceh.

Konflik Laten

Agenda lain yang juga krusial bagi konsistensi perdamaian di Aceh adalah bagaimana konflik laten dapat dikelola dengan baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa bibit-bibit konflik yang bersifat laten masih tersemai dengan baik, pasca perjanjian damai 15 Agustus 2005. Praktek-praktek penurunan bendera merah putih di rumah-rumah warga menjelang perayaan HUT kemerdekaan RI, ataupun penggunaan simbol-simbol dan atribut GAM secara demonstratif, menunjukkan masih adanya ganjalan dalam suasana damai ini.

Hal ini tentunya dapat dipahami sebagai bentuk akumulasi kekecewaan dan kemarahaan yang didapat dari proses konflik yang berkepanjangan. Sebagian kecil masyarakat Aceh mungkin telah terjebak dalam lingkaran setan dendam kesumat yang sulit untuk dinetralisir dalam waktu yang singkat. Trauma dan kebencian yang tertanam dalam sanubari mereka merupakan hasil dari dialektika kekerasan berkepanjangan.

Persolan ini bukanlah merupakan hal yang mudah untuk diatasi. Jika isu penanganan korban dan penegakan HAM dapat dilakukan dalam koridor perjanjian damai, maka permasalahan konflik laten ini tidak cukup dengan pendekatan formal saja. Dibutuhkan pendekatan sosio-kultural yang cukup lama untuk menghilangkan endapan kebencian di tengah masyarakat.

Namun itu saja tidak cukup. Harus ada satu mekanisme pencegahan atas terpicunya spirit negatif yang masih tersisa tersebut. Hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menciptakan dan memelihara katup pengaman (safety valve) antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Katup pengaman itu dapat berupa lembaga perantara (mediation group) ataupun juga sistem kegiatan yang terpola (patterned activities).

Dengan terkelolanya konflik laten ini, terpenuhinya rasa keadilan oleh penegakan HAM dan juga tertanganinya semua korban konflik dengan baik, maka konsistensi perjanjian damai di Aceh tidak dapat diragukan lagi. Sehingga perdamaian di Aceh akan menjadi bersifat permanen.