Selasa, 14 Agustus 2007

Opini: Konsistensi Perjanjian Damai di Aceh

I can forgive, but I can’t forget

(Nelson Mandela)

Dua tahun sudah MoU Helsinki ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah RI dan perwakilan GAM. Telah banyak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh pasca penandatanganan Nota Kesepakatan perdamaian tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh telah berfungsinya kembali berbagai instrumen sosial, politik dan ekonomi yang diisyaratkan dalam MoU tersebut.

Proses demokrasi melalui pilkadalang tingkat propinsi pada akhir tahun lalu pun, seolah-olah menjadi bukti bahwa perbedaan ideologis sekalipun telah dapat disalurkan melalui jalur yang lebih elegan tanpa menggunakan kekerasan.

Namun, dalam konteks yang lebih spesifik, tampaknya masih ada sejumlah agenda penting yang perlu segera ditangani untuk menjamin terpeliharanya konsistensi perjanjian damai di Aceh. Lebih jauh lagi, agenda tersebut juga tidak hanya terkait dengan konsistensi perdamaian, melainkan juga menyangkut perikehidupan masyarakat Aceh sehari-hari.

Perspektif Korban

Agenda utama yang perlu untuk segera didorong pelaksanaannya adalah penanganan para korban konflik. Sebagaimana konflik yang terjadi di tempat lain, konflik bersenjata di Aceh telah merenggut banyak korban harta dan jiwa. Korban yang dimaksud tentunya juga termasuk masyarakat sipil yang tidak terlibat langsung sebagai pihak-pihak yang bertikait dalam konflik.

Pendataan secara menyeluruh tentang berapa banyak korban serta jenis kerugian atau kecacatan akibat konflik senjata memang perlu segera dilakukan. Tindakan ini haruslah dilakukan secara terorganisir oleh para pihak yang menandatangani MoU. Sehingga, meskipun tidak menyatakan secara eksplisit, MoU Helsinki dapat menjelma menjadi wahana penyelesaian konflik yang berperspektif korban.

Identifikasi dan pendataan korban konflik perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan skim mekanisme pemberian kompensasi yang bersifat material kepada para korban, tergantung pada derajat kerugian yang dialami. Hal ini mutlak harus dilakukan sebagai bagian dari upaya menjamin konsistensi damai itu sendiri. Para korban konflik Aceh pastinya dapat memaafkan dampak yang mereka rasakan akibat kesalahan pihak-pihak yang berkonflik. Namun mereka tidak akan dengan mudah melupakan rasa sakit dan bekas luka yang akan mereka bawa hingga mati.

Pemberian kompensasi bagi korban ini harus dipahami sebagai pisau bermata ganda yang dapat mempertahankan konsistensi perdamaian, sekaligus merupakan panacea bagi mayoritas masyarakat Aceh yang telah menjadi korban.

Penegakan HAM

Agenda berikutnya yang juga penting untuk didorong dalam rangka mewujudkan diktum MoU Helsinki adalah menegakkan keadilan hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana dapat dipahami dari sebagian pendapat ilmuwan sosial-politik, bahwa konflik Aceh adalah konflik yang bersifat vertikal. Artinya, konflik Aceh adalah bentuk kekerasan Negara terhadap rakyatnya. Dengan demikian Negara—yang dalam hal ini dilakukan TNI dan Polri—telah menjadi satu-satunya pihak yang melakukan pelanggaran HAM.

Namun, pemahaman yang cenderung menyederhanakan ini tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Dalam merekonstruksikan pelanggaran HAM di Aceh, pendekatan in-group dan out-group dapat menjadi kerangka penjelasan yang lebih logis. Dalam konteks pelanggaran HAM, tentunya ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang dilanggar HAM-nya. Dalam konstelasi sosiologisnya, in-group adalah majority yang mungkin saja ada banyak aktor didalamnya. Sedangkan out-group adalah minoritas. Maka pelanggar HAM adalah suatu in-group, dan korban pelanggaran HAM adalah out-group-nya.

Artinya, sebagai out-group, para korban pelanggaran HAM adalah minoritas. Mereka adalah aktor yang sendiri dalam kasus pelanggaran HAM. Sementara in-group bisa terdiri dari banyak pihak. Bisa saja TNI, bisa juga GAM ataupun pihak-pihak yang hanya mengaku sebagai GAM atau TNI.

Dalam pemahaman ini, setelah MoU ditandatangani konflik antara GAM dan pemerintah RI tidak lagi relevan. Konflik sebenarnya yang saat ini masih ada adalah antara para pelanggar HAM dan para korbannya. Oleh karena, sebagai salah satu mandat yang diamanatkan dalam MoU, maka peradilan HAM harus menjadi prioritas untuk segera digelar di Aceh.

Konflik Laten

Agenda lain yang juga krusial bagi konsistensi perdamaian di Aceh adalah bagaimana konflik laten dapat dikelola dengan baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa bibit-bibit konflik yang bersifat laten masih tersemai dengan baik, pasca perjanjian damai 15 Agustus 2005. Praktek-praktek penurunan bendera merah putih di rumah-rumah warga menjelang perayaan HUT kemerdekaan RI, ataupun penggunaan simbol-simbol dan atribut GAM secara demonstratif, menunjukkan masih adanya ganjalan dalam suasana damai ini.

Hal ini tentunya dapat dipahami sebagai bentuk akumulasi kekecewaan dan kemarahaan yang didapat dari proses konflik yang berkepanjangan. Sebagian kecil masyarakat Aceh mungkin telah terjebak dalam lingkaran setan dendam kesumat yang sulit untuk dinetralisir dalam waktu yang singkat. Trauma dan kebencian yang tertanam dalam sanubari mereka merupakan hasil dari dialektika kekerasan berkepanjangan.

Persolan ini bukanlah merupakan hal yang mudah untuk diatasi. Jika isu penanganan korban dan penegakan HAM dapat dilakukan dalam koridor perjanjian damai, maka permasalahan konflik laten ini tidak cukup dengan pendekatan formal saja. Dibutuhkan pendekatan sosio-kultural yang cukup lama untuk menghilangkan endapan kebencian di tengah masyarakat.

Namun itu saja tidak cukup. Harus ada satu mekanisme pencegahan atas terpicunya spirit negatif yang masih tersisa tersebut. Hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menciptakan dan memelihara katup pengaman (safety valve) antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Katup pengaman itu dapat berupa lembaga perantara (mediation group) ataupun juga sistem kegiatan yang terpola (patterned activities).

Dengan terkelolanya konflik laten ini, terpenuhinya rasa keadilan oleh penegakan HAM dan juga tertanganinya semua korban konflik dengan baik, maka konsistensi perjanjian damai di Aceh tidak dapat diragukan lagi. Sehingga perdamaian di Aceh akan menjadi bersifat permanen.

1 komentar:

sYndicate for Indonesia Transformation Universitas Indonesia mengatakan...

Penanganan pasca konflik mutlak diperlukan guna mengantisipasi konflik laten yang timbul dari terinternalisasinya nilai-nilai ketidakpercayaan masyarakat aceh pada pemerintahan Indonesia secara akumulatif. savety valve yang tepat yang harus diciptakan dan dimodifikasikan dalam mengelola konflik tersebut seharusnya merujuk pada bagaimana meningkatkan kepercayaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah berkuasa (RI) dengan mengelola isu-isu geopolitik yang tersubstansikan didalam kontrak sosial pemerintah dengan rakyat aceh. Isu-isu yang berkembang dalam masyarakat aceh, pada dasarnya merupakan isu-isu mengenai kesenjangan sosial yang termaifestasikan dalam gerakan separatis aceh. katup pengaman tersebut seharusnya diciptakan dalam konsistensi pemerintah terhadap kontrak sosial.
mengenai mediation group, mediation group yang seharusnya diciptakan adalah dengan tujuan mengakomodasi ketidakberdayaan rakyat aceh untuk berteriak meminta keadilan kepada pemerintah dan kegiatan yang terpola yang dapat dilakukan adalah meyakinkan bahwa kebijakan-kebijakan pemerintah berkuasa harus dapat mengakomodir kepentingan rakyat aceh dengan pembentukan oposisi murni sebagai pengganti gugatan rakyat yang diakomodir oleh GAM.

dari Panji Yudha Prasetya, mahasiswa Kessos angkatan 2005 dan aktivis sYndicate for Indonesia Transformation UI (sYndrom UI). alamat blog: pypanji.vox.com.

mohon bimbingan dan motivasinya agar dapat menjadi lebih baik lagi.
Terimakasih...