Kamis, 09 Agustus 2007

Kaitan antara konsep rules dan norms dengan salah satu model perubahan yang digagas oleh Robert Chin, dkk dalam bukuThe Planning of Change

Rules dan norms merupakan elemen terpenting dalam anatomi sebuah human systems, karena derajat perubahan dari sebuah human systems akan ditentukan oleh besarnya perubahan dari rules dan norms-nya. Konsep rules dan norms, pada dasarnya memiliki persamaan disamping perbedaannya. Persamaannya adalah bahwa rules dan norms merupakan unsur yang membuat suatu human systems berjalan secara harmonis dan terhindar dari situasi chaos akibat perbedaan-perbedaan yang ada di dalam human systems itu sendiri. Hal ini berarti bahwa rules dan norms adalah sebuah “aturan main” yang mutlak harus ada dalam sebuah human systems. Sementara perbedaannya terletak pada kerangka waktu berlakunya aturan main tersebut. Rules cenderung merupakan sebuah aturan yang berlaku sementara tergantung dari situasi dan kondisi yang ada, sedangkan norms cenderung menetap dalam suatu masyarakat. Dengan sendirinya cakupan norms menjadi relatif lebih luas—dari berbagai konteks—dibandingkan dengan rules. Rules pada prinsipnya harus mengacu—atau paling tidak jangan sampai bertentangan—pada norms yang ada. Sebagai ilustrasi misalnya, aturan “tamu 2 x 24 jam wajib lapor rt/rw” yang merupakan rules, dapat dikatakan bersumber pada norms yang berlaku, yakni prinsip saling menghormati dan menghargai dalam kerangka legalitas. Jadi dalam jangka waktu yang lama norms tersebut mungkin agak sulit untuk berubah, tetapi aturan di atas mungkin saja berubah, misalnya menjadi “tamu 1 x 24 jam wajib lapor kelurahan”. Dalam konteks rules dan norms ini, derajat perubahan dalam suatu human systems dapat dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu:

· First order change, dimana perubahan baru hanya terjadi pada tingkat rules saja, sehingga ada unsur ‘paksaan’ yang dominan dalam perubahan yang terjadi.

· Second order change, dimana perubahan tidak hanya terjadi pada rules-nya saja, tetapi juga pada norms-nya sehingga perubahan dapat terjadi secara homeostatic.

· Third order change, dimana semua elemen human systems-nya berubah secara drastis dan berkecenderungan untuk terjadi secara revolusioner.

Perbedaan derajat perubahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan konstruksi model perubahan yang dikemukakan oleh R. Chin. Salah satu model yang dikemukakan Chin adalah model empiris-rasional, yang berasumsi bahwa manusia akan mengikuti kepentingan dirinya yang rasional ketika manusia itu telah melihat dan memahami manfaat suatu perubahan pada dirinya. Dalam model ini, perubahan yang terjadi akan sangat bergantung pada bagaimana individu-individu memaknai dampak perubahan bagi diri mereka sendiri. Dan proses pemaknaan atas manfaat perubahan itu dapat diperoleh proses belajar yang dapat memperluas akses kepada berbagai informasi dari perubahan yang dimaksud. Oleh karena itu mekanisme pendidikan formal merupakan bentuk umum yang dapat digunakan untuk mewakili model ini. Berikut ini dapat dilihat ilustrasi tentang sistem pendidikan di Indonesia dari sudut pandang 3 skenario perubahan berdasarkan rules dan norms di atas.

· First order change : Bagi segolongan masyarakat menengah, pendidikan yang mereka jalani sebenarnya hanyalah bagian dari upaya mereka meningkatkan status sosial-ekonomi mereka. Ada asumsi bahwa untuk meningkatkan statusnya, seseorang harus mempunyai uang dan untuk mempunyai uang ia harus bekerja, dan jika ia ingin mendapatkan penghasillan yang lebih baik maka orang tersebut harus menyelesaikan pendidikan formal setinggi-tingginya. Asumsi ini menjelma menjadi semacam rules yang mendorong lembaga pendidikan—terutama pendidikan tinggi—untuk terpaksa mengikuti selera pasar dunia kerja dalam mengembangkan program-program unggulannya. Pada tataran tertentu, hal ini mungkin dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar dan logis karena memang salah satu fungsi perguruan tinggi adalah menciptakan SDM yang siap pakai di dunia kerja. Namun dalam konteks yang lain dapat dilihat bahwa pada akhirnya hal tersebut dapat merubah citra lembaga pendidikan di Indonesia menjadi kehilangan—atau paling tidak menurunkan kualitas—aspek akademik dan intelektualitasnya karena telah tergantikan oleh tuntutan pragmatisme dan profesionalitas yang dituntut dunia kerja pada lembaga pendidikan tinggi.

· Second order change : program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah ternyata telah seiring dengan kesadaran sebagian besar masyarakat—khususnya pada golongan menengah bawah—untuk menyekolahkan anaknya paling tidak hingga ke tingkat sekolah menengah. Uniknya kesadaran ini tidak disertai dengan pemahaman yang benar-benar kuat tentang apakah manfaat pendidikan dasar dan menengah bagi anak-anak mereka. Bahkan mereka mungkin tidak memikirkan asumsi sebagaimana yang ada dalam skenario first order change di atas. Kesadaran tersebut seolah-olah menjadi norms yang tercipta melalui proses interaksi dan sosialisasi di tingkat komunitas. Orang tua saling membanggakan anaknya yang bisa sekolah. Dalam kerangka ini dapat dikatakan bahwa rules yang dikeluarkan pemerintah berupa wajib belajar 9 tahun telah diiringi oleh perubahan norms berupa kesadaran untuk menyekolahkan anak.

· Third order change : mungkin belum ada ilustrasi yang bersifat faktual, yang dapat menggambarkan situasi dunia pendidikan berdasarkan skenario ini, karena memang belum pernah ada perubahan seluruh elemen sistem pendidikan secara revolusioner yang ditujukan untuk kepentingan rakyat kecil dan upaya mencerdaskan bangsa. Kalaupun ada upaya ke arah perubahan revolusioner—seperti misalnya pengalokasian dana untuk pendidikan sebanyak 20% dari APBN—ternyata dalam prakteknya tidak dapat terlaksana dengan berbagai alasan.


Tidak ada komentar: