Kamis, 09 Agustus 2007

PEMBANGUNAN DAN BUDAYA AGAMA

Pada era sekarang ini, mungkin agak sulit untuk menempatkan terminologi budaya dalam arti seperangkat nilai dan norma yang “tradisional” dan dijadikan acuan ataupun aturan main dalam kehidupan bermasyarakat secara formal. Budaya dalam konteks ini telah berubah menjadi seperangkat simbol yang tidak lagi bermanfaat secara pragmatis, melainkan hanya digunakan secara seremonial saja. Seperti pada saat upacara perkawinan dan sebagainya. Sedangkan dalam konteks yang pragmatis—sebagaimana diminta oleh soal di atas—budaya dapat dilihat sebagai pola perilaku dalam suatu kondisi sosial tertentu yang secara agregatif menciptakan sistem nilai baru yang dijadikan acuan perilaku bersama, namun belum tentu disepakati sebagaimana norma dalam konteks budaya tradisional. Seperti misalnya budaya mudik pada saat hari raya keagamaan bagi orang yang tinggal—khususnya—di Jakarta dan sekitarnya. Perilaku mudik tersebut tidak pernah disepakati, apalagi dikodifikasi, sehingga menjadi acuan bagi warga Jakarta agar melakukan mudik ketika merayakan hari besar keagamaannya. Namun meskipun tidak pernah disepakati, dapat kita lihat dalam lebaran kemarin misalnya, belasan ribu orang dari Jakarta mudik ke berbagai daerah di luar Jabodetabek.

Dalam pemahaman tentang budaya agregat di atas, masalah agama menjadi salah satu tema yang juga cukup menarik untuk didiskusikan. Karena pada prinsipnya, dalam kehidupan kosmopolitan seperti di Jakarta, agama juga menjadi sedemikian sangat cairnya dalam mengikuti kehidupan riil yang seolah-olah menjadi wadah bagi ide-ide transedensi keagamaan. Pemaknaan agama menjadi sangat beragam dan sekaligus multi-dimensional. Hal ini sejalan dengan ide dalam pemahaman Peter Berger yang menjelaskan dinamika ideologis dalam suatu agama yang sangat tergantung pada pemaknaan umatnya sendiri.

Dari sudut pandang Berger ini, tentu saja menjadi sangat jelas bahwa di satu sisi, agama bisa saja menjadi bermakna positif bagi suatu konstruksi sosial, sebagaimana yang digambarkan Max Weber dalam bukunya “Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism”. Di mana dalam bukunya tersebut, Weber secara gamblang menjelaskan keterkaitan yang sangat kuat antara berkembangnya kapitalisme, sebagai ide yang menggagas kemakmuran dan kesejahteraan manusia, dengan etika yang ada dalam agama protestan yang dikenal dengan istilah “inner-wordly asceticism”. Sementara di sisi lain agama dapat juga berdampak buruk bagi konstruksi sosial jika dijadikan alat untuk memasung kebebasan berekspresi bagi individu ataupun bagi pemeluk di luar suatu agama tertentu. Hal seperti ini, misalnya dikemukakan oleh Karl Marx dalam ”Das Kapital”-nya, yang menegaskan bahwa agama adalah candu bagi manusia yang menghambat manusia itu untuk berjuang dalam memperoleh kesamaan hak atas modal.

Untuk dapat memperoleh potret yang lebih riil tentang konteks masalah agama sebagai budaya agregatif dalam masyarakat kosmopolitan di Jakarta, jalan cerita yang ada dalam novel kontemporer karya Aris Wahyudi berjudul “Tuhan Tiri” mungkin dapat dijadikan sebuah ilustrasi yang sangat menarik. Meskipun buku ini adalah sebuah karya sastra, namun deskripsinya tentang kondisi sosiologis dalam hubungan miskin dan kaya terlihat sangat menonjol. Dialektika yang sangat sempurna dalam relasi miskin-kaya, tidak hanya dibongkar dalam logika sosial-ekonomi, tetapi juga peranan “tangan Tuhan” dalam menciptakan dua titik ekstrem itu sendiri, yakni miskin dan kaya.

Pada satu bagian dari novel itu digambarkan telah terjadi perselisihan antara manajemen sebuah pabrik dengan para buruhnya. Para buruh pabrik yang mulai menyadari dan merasa bahwa kebutuhan hidupnya terus meningkat, sementara penghasilan mereka tidak pernah mencukupi, mulai melakukan mogok kerja dan menuntut untuk menduduki seluruh asset perusahaan. Pihak manajemen kebingungan untuk mengatasi permasalahan ini. Ketika salah seorang komisaris—yang ternyata adalah seorang kapitalis tulen—dari perusahaan itu datang, maka ia dengan cepat memberikan beberapa saran kepada direktur perusahaan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut komisaris tersebut, jika manajemen perusahaan ingin menahan tuntutan para demonstran dalam hitungan minggu, maka perusahaan harus segera memanggil dan membayar jasa pengamanan dari polisi atau tentara setempat. Akan tetapi upaya ini hanya akan menahan demonstran dalam 1-2 minggu saja, karena setelah lewat dari masa itu, tingkat stress dari pihak pengaman dan demonstran mungkin sudah sangat klimaks. Sehingga bentuk provokasi sekecil apa pun dapat menciptakan suasana chaos di lingkungan asset perusahaan.

Jika manajemen ingin menahan tuntutan para demonstran dalam hitungan bulan, komisaris itu menyarankan agar manajemen segera menghubungi dan meng-hire pengacara atau penasehat hukum terkemuka untuk “menengahi” perselisihan tersebut dengan membuat kesepakatan kerja bersama (KKB) palsu yang tentu saja menguntungkan manajemen. Langkah ini tentu saja akan membuai para demonstran untuk menghentikan mogok kerja, karena seolah-olah tuntutan mereka telah dipenuhi. Namun dalam 2-3 bulan mereka akan menyadari kembali bahwa mereka telah ditipu, dan ketika hal itu terjadi, amarah para buruh mungkin sudah tidak dapat terbendung lagi dan kemungkinan besar para buruh akan apatis terhadap kemungkinan perubahan apa pun hingga akhirnya mereka bisa saja berlaku sangat anarkhis, dengan menghancurkan asset perusahaan yang sangat vital—dan mahal—misalnya.

Dan untuk menghindari hal itu, sang komisaris mengeluarkan saran pamungkasnya. Ia mengatakan bahwa untuk membungkam para buruh itu selamanya, maka manajemen perusahaan hanya perlu melakukan langkah yang sangat sederhana, yaitu memanggil ahli khotbah dari agama-agama yang dianut oleh para buruh. Para tokoh agama ini dibayar untuk membius kesadaran para buruh akan hak mereka dengan cara menanamkan dogma-dogma bahwa mereka harus menerima takdir dari yang maha kuasa, bahwa nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia memang berbeda-beda dan manusia harus menerima anugrah yang ia miliki secara tulus dan ikhlas tanpa menuntut hal-hal yang berlebihan. Dalam bagian ini-lah, Aris Wahyudi ingin menggaris bawahi bahwa ketika agama beserta simbol-simbolnya telah bersinergi dengan kapitalisme—dalam arti negatif, eksploitatif dan inhumanistis—maka Tuhan Yang Maha Esa itu seolah-olah hanya menjadi Tuhan bagi orang kaya saja. Sementara bagi orang miskin, Tuhan tidaklah se-Maha Kuasa Tuhan-nya orang kaya yang dapat memberikan kemakmuran dan kesenangan duniawi, karena Tuhan bagi orang miskin hanyalah Tuhan TIRI.

Sebenarnya masih banyak fragmen sosial lain yang ada dalam episode yang sangat panjang di dalam penuturan Aris Wahyudi yang sangat peka terhadap berbagai fakta dan tindakan sosial yang sangat riil, dan sekaligus menjadi potret sosiologis yang dapat menjelaskan konteks permasalahan sosial di Indonesia. Dan dalam banyak hal, tampaknya saya sependapat dengan Aris Wahyudi tentang bagaimana konstruksi sosial dan upaya pembangunan dapat dirusak oleh perilaku kapitalistis yang menjadikan agama sebagai senjatanya. Seperti misalnya, korupsi yang dijustifikasi dengan alasan agama, yaitu bahwa sang koruptor merasa bahwa agama memerintahkannya untuk menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan keluarganya, dan jika ia tidak melakukannya maka ia akan berdosa. Oleh karena itu ia memaksimalkan upaya peningkatan kesejahteraan keluarganya dengan korupsi. Atau juga modus operandi lain, dengan menggunakan ritual keagamaan sebagai substitusi atas dosa korupsi mereka. Mereka memperbanyak ibadah dan sumbangan keagamaan demi privilege semata. Padahal jumlah yang mereka sumbangkan tersebut hanya 1 banding 1 milyar dari uang yang mereka korup.

Menyadari kenyataan ini, tentu saja akan banyak orang yang akhirnya hilang kepercayaannya terhadap agama dan Tuhan. Bukan dalam tataran ekstrem sebagai atheis sebagaimana yang dikemukakan Marx, melainkan tidak mau peduli dengan ajaran agama karena merasa diperlakukan tidak adil oleh tuhan, atau dikenal dengan istilah agnostik. Resistensi ini bisa jadi memebentuk pola yang sama dengan perlawanan yang dilakukan oleh Kyai Rifai, akan tetapi berada pada kutub yang berbeda. Jika Kyai Rifai melakukan perlawanan karena fundamentalisme yang ia pegang teguh, maka perlawanan masyarakat kosmopolitan justru tercipta karena anomitas kehidupan mereka sendiri.

Kondisi ini tentu saja menjadi hambatan yang sangat besar bagi proses pembangunan. Karena, jangankan kebijakan arah pembangunan atau peraturan lainnya yang merupakan produk manusia, agama saja, yang merupakan produk yang sangat sakral dan mengandung unsur transeden pun sudah diabaikan. Lantas aturan main apa lagi yang bisa dijadikan acuan bagi pembangunan?


Kepustakaan

Poloma, Margaret M. 1979. Contemporary Sociological Theory. New York: MacMillan Publishing Co. Inc.

Setiawan, Bonnie. 1999. Peralihan Ke Kapitalisme Di Dunia Ketiga: Teori-teori Radikal Dari Klasik Sampai Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyudi, Aris. 2003. Tuhan Tiri. Jakarta: Voxdei Publication.

Tidak ada komentar: