Selasa, 14 Agustus 2007

Opini: Konsistensi Perjanjian Damai di Aceh

I can forgive, but I can’t forget

(Nelson Mandela)

Dua tahun sudah MoU Helsinki ditandatangani oleh perwakilan Pemerintah RI dan perwakilan GAM. Telah banyak perubahan yang dirasakan oleh masyarakat Aceh pasca penandatanganan Nota Kesepakatan perdamaian tersebut. Hal ini dimungkinkan oleh telah berfungsinya kembali berbagai instrumen sosial, politik dan ekonomi yang diisyaratkan dalam MoU tersebut.

Proses demokrasi melalui pilkadalang tingkat propinsi pada akhir tahun lalu pun, seolah-olah menjadi bukti bahwa perbedaan ideologis sekalipun telah dapat disalurkan melalui jalur yang lebih elegan tanpa menggunakan kekerasan.

Namun, dalam konteks yang lebih spesifik, tampaknya masih ada sejumlah agenda penting yang perlu segera ditangani untuk menjamin terpeliharanya konsistensi perjanjian damai di Aceh. Lebih jauh lagi, agenda tersebut juga tidak hanya terkait dengan konsistensi perdamaian, melainkan juga menyangkut perikehidupan masyarakat Aceh sehari-hari.

Perspektif Korban

Agenda utama yang perlu untuk segera didorong pelaksanaannya adalah penanganan para korban konflik. Sebagaimana konflik yang terjadi di tempat lain, konflik bersenjata di Aceh telah merenggut banyak korban harta dan jiwa. Korban yang dimaksud tentunya juga termasuk masyarakat sipil yang tidak terlibat langsung sebagai pihak-pihak yang bertikait dalam konflik.

Pendataan secara menyeluruh tentang berapa banyak korban serta jenis kerugian atau kecacatan akibat konflik senjata memang perlu segera dilakukan. Tindakan ini haruslah dilakukan secara terorganisir oleh para pihak yang menandatangani MoU. Sehingga, meskipun tidak menyatakan secara eksplisit, MoU Helsinki dapat menjelma menjadi wahana penyelesaian konflik yang berperspektif korban.

Identifikasi dan pendataan korban konflik perlu ditindaklanjuti dengan penyediaan skim mekanisme pemberian kompensasi yang bersifat material kepada para korban, tergantung pada derajat kerugian yang dialami. Hal ini mutlak harus dilakukan sebagai bagian dari upaya menjamin konsistensi damai itu sendiri. Para korban konflik Aceh pastinya dapat memaafkan dampak yang mereka rasakan akibat kesalahan pihak-pihak yang berkonflik. Namun mereka tidak akan dengan mudah melupakan rasa sakit dan bekas luka yang akan mereka bawa hingga mati.

Pemberian kompensasi bagi korban ini harus dipahami sebagai pisau bermata ganda yang dapat mempertahankan konsistensi perdamaian, sekaligus merupakan panacea bagi mayoritas masyarakat Aceh yang telah menjadi korban.

Penegakan HAM

Agenda berikutnya yang juga penting untuk didorong dalam rangka mewujudkan diktum MoU Helsinki adalah menegakkan keadilan hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana dapat dipahami dari sebagian pendapat ilmuwan sosial-politik, bahwa konflik Aceh adalah konflik yang bersifat vertikal. Artinya, konflik Aceh adalah bentuk kekerasan Negara terhadap rakyatnya. Dengan demikian Negara—yang dalam hal ini dilakukan TNI dan Polri—telah menjadi satu-satunya pihak yang melakukan pelanggaran HAM.

Namun, pemahaman yang cenderung menyederhanakan ini tampaknya perlu dipertanyakan kembali. Dalam merekonstruksikan pelanggaran HAM di Aceh, pendekatan in-group dan out-group dapat menjadi kerangka penjelasan yang lebih logis. Dalam konteks pelanggaran HAM, tentunya ada pihak yang melanggar dan ada pihak yang dilanggar HAM-nya. Dalam konstelasi sosiologisnya, in-group adalah majority yang mungkin saja ada banyak aktor didalamnya. Sedangkan out-group adalah minoritas. Maka pelanggar HAM adalah suatu in-group, dan korban pelanggaran HAM adalah out-group-nya.

Artinya, sebagai out-group, para korban pelanggaran HAM adalah minoritas. Mereka adalah aktor yang sendiri dalam kasus pelanggaran HAM. Sementara in-group bisa terdiri dari banyak pihak. Bisa saja TNI, bisa juga GAM ataupun pihak-pihak yang hanya mengaku sebagai GAM atau TNI.

Dalam pemahaman ini, setelah MoU ditandatangani konflik antara GAM dan pemerintah RI tidak lagi relevan. Konflik sebenarnya yang saat ini masih ada adalah antara para pelanggar HAM dan para korbannya. Oleh karena, sebagai salah satu mandat yang diamanatkan dalam MoU, maka peradilan HAM harus menjadi prioritas untuk segera digelar di Aceh.

Konflik Laten

Agenda lain yang juga krusial bagi konsistensi perdamaian di Aceh adalah bagaimana konflik laten dapat dikelola dengan baik. Tidak dapat dipungkiri bahwa bibit-bibit konflik yang bersifat laten masih tersemai dengan baik, pasca perjanjian damai 15 Agustus 2005. Praktek-praktek penurunan bendera merah putih di rumah-rumah warga menjelang perayaan HUT kemerdekaan RI, ataupun penggunaan simbol-simbol dan atribut GAM secara demonstratif, menunjukkan masih adanya ganjalan dalam suasana damai ini.

Hal ini tentunya dapat dipahami sebagai bentuk akumulasi kekecewaan dan kemarahaan yang didapat dari proses konflik yang berkepanjangan. Sebagian kecil masyarakat Aceh mungkin telah terjebak dalam lingkaran setan dendam kesumat yang sulit untuk dinetralisir dalam waktu yang singkat. Trauma dan kebencian yang tertanam dalam sanubari mereka merupakan hasil dari dialektika kekerasan berkepanjangan.

Persolan ini bukanlah merupakan hal yang mudah untuk diatasi. Jika isu penanganan korban dan penegakan HAM dapat dilakukan dalam koridor perjanjian damai, maka permasalahan konflik laten ini tidak cukup dengan pendekatan formal saja. Dibutuhkan pendekatan sosio-kultural yang cukup lama untuk menghilangkan endapan kebencian di tengah masyarakat.

Namun itu saja tidak cukup. Harus ada satu mekanisme pencegahan atas terpicunya spirit negatif yang masih tersisa tersebut. Hal yang paling mungkin untuk dilakukan adalah menciptakan dan memelihara katup pengaman (safety valve) antara kelompok-kelompok yang ada dalam masyarakat. Katup pengaman itu dapat berupa lembaga perantara (mediation group) ataupun juga sistem kegiatan yang terpola (patterned activities).

Dengan terkelolanya konflik laten ini, terpenuhinya rasa keadilan oleh penegakan HAM dan juga tertanganinya semua korban konflik dengan baik, maka konsistensi perjanjian damai di Aceh tidak dapat diragukan lagi. Sehingga perdamaian di Aceh akan menjadi bersifat permanen.

Kamis, 09 Agustus 2007


Pantai Losari yang tenang. Makassar yang berkesan......

Kaitan antara konsep rules dan norms dengan salah satu model perubahan yang digagas oleh Robert Chin, dkk dalam bukuThe Planning of Change

Rules dan norms merupakan elemen terpenting dalam anatomi sebuah human systems, karena derajat perubahan dari sebuah human systems akan ditentukan oleh besarnya perubahan dari rules dan norms-nya. Konsep rules dan norms, pada dasarnya memiliki persamaan disamping perbedaannya. Persamaannya adalah bahwa rules dan norms merupakan unsur yang membuat suatu human systems berjalan secara harmonis dan terhindar dari situasi chaos akibat perbedaan-perbedaan yang ada di dalam human systems itu sendiri. Hal ini berarti bahwa rules dan norms adalah sebuah “aturan main” yang mutlak harus ada dalam sebuah human systems. Sementara perbedaannya terletak pada kerangka waktu berlakunya aturan main tersebut. Rules cenderung merupakan sebuah aturan yang berlaku sementara tergantung dari situasi dan kondisi yang ada, sedangkan norms cenderung menetap dalam suatu masyarakat. Dengan sendirinya cakupan norms menjadi relatif lebih luas—dari berbagai konteks—dibandingkan dengan rules. Rules pada prinsipnya harus mengacu—atau paling tidak jangan sampai bertentangan—pada norms yang ada. Sebagai ilustrasi misalnya, aturan “tamu 2 x 24 jam wajib lapor rt/rw” yang merupakan rules, dapat dikatakan bersumber pada norms yang berlaku, yakni prinsip saling menghormati dan menghargai dalam kerangka legalitas. Jadi dalam jangka waktu yang lama norms tersebut mungkin agak sulit untuk berubah, tetapi aturan di atas mungkin saja berubah, misalnya menjadi “tamu 1 x 24 jam wajib lapor kelurahan”. Dalam konteks rules dan norms ini, derajat perubahan dalam suatu human systems dapat dibedakan menjadi 3 tahap, yaitu:

· First order change, dimana perubahan baru hanya terjadi pada tingkat rules saja, sehingga ada unsur ‘paksaan’ yang dominan dalam perubahan yang terjadi.

· Second order change, dimana perubahan tidak hanya terjadi pada rules-nya saja, tetapi juga pada norms-nya sehingga perubahan dapat terjadi secara homeostatic.

· Third order change, dimana semua elemen human systems-nya berubah secara drastis dan berkecenderungan untuk terjadi secara revolusioner.

Perbedaan derajat perubahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan konstruksi model perubahan yang dikemukakan oleh R. Chin. Salah satu model yang dikemukakan Chin adalah model empiris-rasional, yang berasumsi bahwa manusia akan mengikuti kepentingan dirinya yang rasional ketika manusia itu telah melihat dan memahami manfaat suatu perubahan pada dirinya. Dalam model ini, perubahan yang terjadi akan sangat bergantung pada bagaimana individu-individu memaknai dampak perubahan bagi diri mereka sendiri. Dan proses pemaknaan atas manfaat perubahan itu dapat diperoleh proses belajar yang dapat memperluas akses kepada berbagai informasi dari perubahan yang dimaksud. Oleh karena itu mekanisme pendidikan formal merupakan bentuk umum yang dapat digunakan untuk mewakili model ini. Berikut ini dapat dilihat ilustrasi tentang sistem pendidikan di Indonesia dari sudut pandang 3 skenario perubahan berdasarkan rules dan norms di atas.

· First order change : Bagi segolongan masyarakat menengah, pendidikan yang mereka jalani sebenarnya hanyalah bagian dari upaya mereka meningkatkan status sosial-ekonomi mereka. Ada asumsi bahwa untuk meningkatkan statusnya, seseorang harus mempunyai uang dan untuk mempunyai uang ia harus bekerja, dan jika ia ingin mendapatkan penghasillan yang lebih baik maka orang tersebut harus menyelesaikan pendidikan formal setinggi-tingginya. Asumsi ini menjelma menjadi semacam rules yang mendorong lembaga pendidikan—terutama pendidikan tinggi—untuk terpaksa mengikuti selera pasar dunia kerja dalam mengembangkan program-program unggulannya. Pada tataran tertentu, hal ini mungkin dapat dilihat sebagai suatu hal yang wajar dan logis karena memang salah satu fungsi perguruan tinggi adalah menciptakan SDM yang siap pakai di dunia kerja. Namun dalam konteks yang lain dapat dilihat bahwa pada akhirnya hal tersebut dapat merubah citra lembaga pendidikan di Indonesia menjadi kehilangan—atau paling tidak menurunkan kualitas—aspek akademik dan intelektualitasnya karena telah tergantikan oleh tuntutan pragmatisme dan profesionalitas yang dituntut dunia kerja pada lembaga pendidikan tinggi.

· Second order change : program wajib belajar 9 tahun yang dicanangkan pemerintah ternyata telah seiring dengan kesadaran sebagian besar masyarakat—khususnya pada golongan menengah bawah—untuk menyekolahkan anaknya paling tidak hingga ke tingkat sekolah menengah. Uniknya kesadaran ini tidak disertai dengan pemahaman yang benar-benar kuat tentang apakah manfaat pendidikan dasar dan menengah bagi anak-anak mereka. Bahkan mereka mungkin tidak memikirkan asumsi sebagaimana yang ada dalam skenario first order change di atas. Kesadaran tersebut seolah-olah menjadi norms yang tercipta melalui proses interaksi dan sosialisasi di tingkat komunitas. Orang tua saling membanggakan anaknya yang bisa sekolah. Dalam kerangka ini dapat dikatakan bahwa rules yang dikeluarkan pemerintah berupa wajib belajar 9 tahun telah diiringi oleh perubahan norms berupa kesadaran untuk menyekolahkan anak.

· Third order change : mungkin belum ada ilustrasi yang bersifat faktual, yang dapat menggambarkan situasi dunia pendidikan berdasarkan skenario ini, karena memang belum pernah ada perubahan seluruh elemen sistem pendidikan secara revolusioner yang ditujukan untuk kepentingan rakyat kecil dan upaya mencerdaskan bangsa. Kalaupun ada upaya ke arah perubahan revolusioner—seperti misalnya pengalokasian dana untuk pendidikan sebanyak 20% dari APBN—ternyata dalam prakteknya tidak dapat terlaksana dengan berbagai alasan.


Disela-sela pekerjaan riset pola pembiayaan rusunawa di Batam, perlu sedikit meluangkan waktu untuk pelesiran. Foto ini diambil di jembatan 1 Barelang yang menghubungkan Pulau Batam dengan salah satu pulau kecil di Selatannya. Nice trip....

PEMBANGUNAN DAN BUDAYA AGAMA

Pada era sekarang ini, mungkin agak sulit untuk menempatkan terminologi budaya dalam arti seperangkat nilai dan norma yang “tradisional” dan dijadikan acuan ataupun aturan main dalam kehidupan bermasyarakat secara formal. Budaya dalam konteks ini telah berubah menjadi seperangkat simbol yang tidak lagi bermanfaat secara pragmatis, melainkan hanya digunakan secara seremonial saja. Seperti pada saat upacara perkawinan dan sebagainya. Sedangkan dalam konteks yang pragmatis—sebagaimana diminta oleh soal di atas—budaya dapat dilihat sebagai pola perilaku dalam suatu kondisi sosial tertentu yang secara agregatif menciptakan sistem nilai baru yang dijadikan acuan perilaku bersama, namun belum tentu disepakati sebagaimana norma dalam konteks budaya tradisional. Seperti misalnya budaya mudik pada saat hari raya keagamaan bagi orang yang tinggal—khususnya—di Jakarta dan sekitarnya. Perilaku mudik tersebut tidak pernah disepakati, apalagi dikodifikasi, sehingga menjadi acuan bagi warga Jakarta agar melakukan mudik ketika merayakan hari besar keagamaannya. Namun meskipun tidak pernah disepakati, dapat kita lihat dalam lebaran kemarin misalnya, belasan ribu orang dari Jakarta mudik ke berbagai daerah di luar Jabodetabek.

Dalam pemahaman tentang budaya agregat di atas, masalah agama menjadi salah satu tema yang juga cukup menarik untuk didiskusikan. Karena pada prinsipnya, dalam kehidupan kosmopolitan seperti di Jakarta, agama juga menjadi sedemikian sangat cairnya dalam mengikuti kehidupan riil yang seolah-olah menjadi wadah bagi ide-ide transedensi keagamaan. Pemaknaan agama menjadi sangat beragam dan sekaligus multi-dimensional. Hal ini sejalan dengan ide dalam pemahaman Peter Berger yang menjelaskan dinamika ideologis dalam suatu agama yang sangat tergantung pada pemaknaan umatnya sendiri.

Dari sudut pandang Berger ini, tentu saja menjadi sangat jelas bahwa di satu sisi, agama bisa saja menjadi bermakna positif bagi suatu konstruksi sosial, sebagaimana yang digambarkan Max Weber dalam bukunya “Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism”. Di mana dalam bukunya tersebut, Weber secara gamblang menjelaskan keterkaitan yang sangat kuat antara berkembangnya kapitalisme, sebagai ide yang menggagas kemakmuran dan kesejahteraan manusia, dengan etika yang ada dalam agama protestan yang dikenal dengan istilah “inner-wordly asceticism”. Sementara di sisi lain agama dapat juga berdampak buruk bagi konstruksi sosial jika dijadikan alat untuk memasung kebebasan berekspresi bagi individu ataupun bagi pemeluk di luar suatu agama tertentu. Hal seperti ini, misalnya dikemukakan oleh Karl Marx dalam ”Das Kapital”-nya, yang menegaskan bahwa agama adalah candu bagi manusia yang menghambat manusia itu untuk berjuang dalam memperoleh kesamaan hak atas modal.

Untuk dapat memperoleh potret yang lebih riil tentang konteks masalah agama sebagai budaya agregatif dalam masyarakat kosmopolitan di Jakarta, jalan cerita yang ada dalam novel kontemporer karya Aris Wahyudi berjudul “Tuhan Tiri” mungkin dapat dijadikan sebuah ilustrasi yang sangat menarik. Meskipun buku ini adalah sebuah karya sastra, namun deskripsinya tentang kondisi sosiologis dalam hubungan miskin dan kaya terlihat sangat menonjol. Dialektika yang sangat sempurna dalam relasi miskin-kaya, tidak hanya dibongkar dalam logika sosial-ekonomi, tetapi juga peranan “tangan Tuhan” dalam menciptakan dua titik ekstrem itu sendiri, yakni miskin dan kaya.

Pada satu bagian dari novel itu digambarkan telah terjadi perselisihan antara manajemen sebuah pabrik dengan para buruhnya. Para buruh pabrik yang mulai menyadari dan merasa bahwa kebutuhan hidupnya terus meningkat, sementara penghasilan mereka tidak pernah mencukupi, mulai melakukan mogok kerja dan menuntut untuk menduduki seluruh asset perusahaan. Pihak manajemen kebingungan untuk mengatasi permasalahan ini. Ketika salah seorang komisaris—yang ternyata adalah seorang kapitalis tulen—dari perusahaan itu datang, maka ia dengan cepat memberikan beberapa saran kepada direktur perusahaan untuk mengatasi permasalahan tersebut. Menurut komisaris tersebut, jika manajemen perusahaan ingin menahan tuntutan para demonstran dalam hitungan minggu, maka perusahaan harus segera memanggil dan membayar jasa pengamanan dari polisi atau tentara setempat. Akan tetapi upaya ini hanya akan menahan demonstran dalam 1-2 minggu saja, karena setelah lewat dari masa itu, tingkat stress dari pihak pengaman dan demonstran mungkin sudah sangat klimaks. Sehingga bentuk provokasi sekecil apa pun dapat menciptakan suasana chaos di lingkungan asset perusahaan.

Jika manajemen ingin menahan tuntutan para demonstran dalam hitungan bulan, komisaris itu menyarankan agar manajemen segera menghubungi dan meng-hire pengacara atau penasehat hukum terkemuka untuk “menengahi” perselisihan tersebut dengan membuat kesepakatan kerja bersama (KKB) palsu yang tentu saja menguntungkan manajemen. Langkah ini tentu saja akan membuai para demonstran untuk menghentikan mogok kerja, karena seolah-olah tuntutan mereka telah dipenuhi. Namun dalam 2-3 bulan mereka akan menyadari kembali bahwa mereka telah ditipu, dan ketika hal itu terjadi, amarah para buruh mungkin sudah tidak dapat terbendung lagi dan kemungkinan besar para buruh akan apatis terhadap kemungkinan perubahan apa pun hingga akhirnya mereka bisa saja berlaku sangat anarkhis, dengan menghancurkan asset perusahaan yang sangat vital—dan mahal—misalnya.

Dan untuk menghindari hal itu, sang komisaris mengeluarkan saran pamungkasnya. Ia mengatakan bahwa untuk membungkam para buruh itu selamanya, maka manajemen perusahaan hanya perlu melakukan langkah yang sangat sederhana, yaitu memanggil ahli khotbah dari agama-agama yang dianut oleh para buruh. Para tokoh agama ini dibayar untuk membius kesadaran para buruh akan hak mereka dengan cara menanamkan dogma-dogma bahwa mereka harus menerima takdir dari yang maha kuasa, bahwa nasib yang diberikan Tuhan kepada manusia memang berbeda-beda dan manusia harus menerima anugrah yang ia miliki secara tulus dan ikhlas tanpa menuntut hal-hal yang berlebihan. Dalam bagian ini-lah, Aris Wahyudi ingin menggaris bawahi bahwa ketika agama beserta simbol-simbolnya telah bersinergi dengan kapitalisme—dalam arti negatif, eksploitatif dan inhumanistis—maka Tuhan Yang Maha Esa itu seolah-olah hanya menjadi Tuhan bagi orang kaya saja. Sementara bagi orang miskin, Tuhan tidaklah se-Maha Kuasa Tuhan-nya orang kaya yang dapat memberikan kemakmuran dan kesenangan duniawi, karena Tuhan bagi orang miskin hanyalah Tuhan TIRI.

Sebenarnya masih banyak fragmen sosial lain yang ada dalam episode yang sangat panjang di dalam penuturan Aris Wahyudi yang sangat peka terhadap berbagai fakta dan tindakan sosial yang sangat riil, dan sekaligus menjadi potret sosiologis yang dapat menjelaskan konteks permasalahan sosial di Indonesia. Dan dalam banyak hal, tampaknya saya sependapat dengan Aris Wahyudi tentang bagaimana konstruksi sosial dan upaya pembangunan dapat dirusak oleh perilaku kapitalistis yang menjadikan agama sebagai senjatanya. Seperti misalnya, korupsi yang dijustifikasi dengan alasan agama, yaitu bahwa sang koruptor merasa bahwa agama memerintahkannya untuk menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan keluarganya, dan jika ia tidak melakukannya maka ia akan berdosa. Oleh karena itu ia memaksimalkan upaya peningkatan kesejahteraan keluarganya dengan korupsi. Atau juga modus operandi lain, dengan menggunakan ritual keagamaan sebagai substitusi atas dosa korupsi mereka. Mereka memperbanyak ibadah dan sumbangan keagamaan demi privilege semata. Padahal jumlah yang mereka sumbangkan tersebut hanya 1 banding 1 milyar dari uang yang mereka korup.

Menyadari kenyataan ini, tentu saja akan banyak orang yang akhirnya hilang kepercayaannya terhadap agama dan Tuhan. Bukan dalam tataran ekstrem sebagai atheis sebagaimana yang dikemukakan Marx, melainkan tidak mau peduli dengan ajaran agama karena merasa diperlakukan tidak adil oleh tuhan, atau dikenal dengan istilah agnostik. Resistensi ini bisa jadi memebentuk pola yang sama dengan perlawanan yang dilakukan oleh Kyai Rifai, akan tetapi berada pada kutub yang berbeda. Jika Kyai Rifai melakukan perlawanan karena fundamentalisme yang ia pegang teguh, maka perlawanan masyarakat kosmopolitan justru tercipta karena anomitas kehidupan mereka sendiri.

Kondisi ini tentu saja menjadi hambatan yang sangat besar bagi proses pembangunan. Karena, jangankan kebijakan arah pembangunan atau peraturan lainnya yang merupakan produk manusia, agama saja, yang merupakan produk yang sangat sakral dan mengandung unsur transeden pun sudah diabaikan. Lantas aturan main apa lagi yang bisa dijadikan acuan bagi pembangunan?


Kepustakaan

Poloma, Margaret M. 1979. Contemporary Sociological Theory. New York: MacMillan Publishing Co. Inc.

Setiawan, Bonnie. 1999. Peralihan Ke Kapitalisme Di Dunia Ketiga: Teori-teori Radikal Dari Klasik Sampai Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wahyudi, Aris. 2003. Tuhan Tiri. Jakarta: Voxdei Publication.

Spring at downtown Adelaide

TEKNIK PENDEKATAN MASYARAKAT UNTUK USAHA SOSIALISASI PERLINDUNGAN ANAK

Pengantar

Upaya menyebarluaskan isu perlindungan anak tentunya bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Hal tersebut disebabkan, bagi sebagian orang isu perlindungan anak adalah merupakan urusan domestik yang seharusnya tidak dicampuri oleh publik yang lebih luas, atau sebut saja komunitas. Jika terjadi pemukulan terhadap anak oleh orang tuanya misalnya, orang tua tersebut akan berang jika ada orang dari luar keluarganya mempertanyakan tindakannya tersebut. Orang tua tersebut merasa bahwa cara-cara dia memperlakukan anaknya adalah sepenuhnya haknya.

Dengan demikian, adalah tindakan konyol jika tiba-tiba ada pihak tertentu yang datang kepada orang tua tersebut dan menjelaskan bahwa tindakannya bertentangan dengan UU tentang perlindungan anak. Demikian pula jika ada upaya pengumpulan data yang terkait dengan isu perlindungan anak melalui rapat warga misalnya, tentunya masyarakat tidak akan merasa nyaman jika dalam rapat itu tiba-tiba dipertanyakan tentang kasus-kasus kekerasan terhadap anak yang ada di lingkungan warga tersebut. Disadari atau tidak, isu perlindungan anak sejauh ini masih merupakan isu yang sensitif bagi sebagian besar masyarakat.

Oleh karena itu, dibutuhkan teknik-teknik khusus untuk mendekati masyarakat yang menjadi titik masuk (entry point) yang membuat sebuah rapat warga menjadi lebih menyenangkan karena tidak langsung ada pretensi bahwa warga tersebut adalah pelaku kekerasan terhadap anak. Pada prinsipnya, teknik-teknik participatory assessment yang telah dikenal dalam pendekatan community development dapat digunakan untuk kebutuhan ini. Berikut ini adalah beberapa teknik yang dapat digunakan oleh petugas / pekerja sosial yang akan melakukan sosialisasi ataupun pendataan yang terkait dengan perlindungan anak melalui rapat atau pertemuan warga.

Teknik Pemetaan Sosial (SOCIAL MAPPING)

Teknik ini adalah teknik yang sudah sangat umum dikenal oleh pihak-pihak yang bekerja dengan masyarat. Ada dua gaya dalam teknik ini, yakni: gaya bebas (free style) dan gaya terarah (guided style). Gaya terarah (guided style) dilakukan apabila fasilitator atau petugas lapangan telah mempersiapkan peta dasar / atau peta buta dari suatu satuan wilayah terkecil (biasanya desa atau kelurahan). Sementara gaya bebas (free style) datang ke suatu rapat warga hanya berbekal selembar kertas plano kosong. Berikut ini langkah-langkah yang dilakukan dalam teknik ini.

Langkah-langkah kerja

  1. Mengundang peserta pertemuan melalui tokoh formal / informal di desa setempat. Pertemuan tersebut sebaiknya dihadiri tidak lebih dari 20 orang, agar jalannya diskusi dapat berjalan efektif. Jika memang banyak narasumber yang kompeten untuk diajak bertemu, maka pertemuan warga itu dapat dibagi-bagi dalam kelompok-kelompok tertentu. Misalnya kelompok ibu-ibu, kolompok petani, kelompok pendidik, dll.
  2. Mempersiapkan bahan-bahan dan alat bantu, diantaranya: kertas plano, spidol warna, makanan ringan, dll.
  3. Bagi yang menggunakan gaya terarah (guided style), gambar peta dasar desa harus sudah digambar ulang di atas kertas plano. Sebaiknya mempersiapkan lebih dari satu peta dasar plano, untuk mengantisipasi terjadinya kesalahan. Sementara yang menggunakan gaya bebas (free style), hanya perlu mempersiapkan beberapa plano kosong saja.
  4. Membuka pertemuan dengan santun dan menjelaskan maksud dan tujuan pertemuan tersebut. Contoh yang paling sederhana adalah: “Ibu dan Bapak sekalian, terima kasih atas kehadiran dalam pertemuan ini. Tujuan kita berkumpul hari ini adalah untuk saling belajar tentang kehidupan Ibu dan Bapak sehari-hari. Kami ingin sekali mengetahui apa yang Ibu dan bapak alami dan kerjakan sehari-hari, dan kami berharap dapat mengambil pelajaran dan mungkin saja jika diizinkan dapat pula menceritakannya kepada orang-orang di tempat lain”. Yakinkan para peserta pertemuan bahwa hasil pertemuan ini tidak akan disalahgunakan untuk tujuan yang salah, melainkan untuk mencari kemanfaatan bersama.
  5. Jangan lupa untuk sebisa mungkin mencairkan suasana sebelum membuka acara pertemuan. Misalnya dengan mengomentari keindahan alam di desa setempat, atau mempertanyakan musim hujan yang terus terjadi di tempat tersebut.
  6. Usahakan pula untuk mengenal karakter sebagian peserta, atau paling tidak identitas peserta pertemuan dan usahakan selalu mengingat dan menyebutkan nama peserta. Hal ini penting agar peserta diskusi merasa nyaman dan dihargai.
  7. Setelah membuka acara, jelaskan kepada peserta pertemuan bahwa agenda kali ini adalah ingin mengidentifikasi kondisi alam (geografis) di desa yang bersangkutan. Kemudian bagi yang menggunakan gaya terarah (guided style), mulailah mengeluarkan kertas plano yang sudah bergambar peta buta desa (hanya bergambar batas desa, jalan utama, dan beberapa landmark alamiah, seperti danau, dll. Usahakan jangan terlalu banyak memberikan landmark agar peluang diskusi lebih terbuka lebar). Kemudian tempatkan peta buta tersebut di tempat yang bisa dilihat oleh semua peserta, boleh di lantai atau sebaiknya direkatkan di dinding. Setelah itu mintalah peserta untuk melengkapi peta tersebut sehingga mendekati kondisi sebenarnya.
  8. Sementara bagi yang menggunakan gaya bebas (free style), mulailah membuat titik (spot) di atas kertas plano yang menunjukkan dimana pertemuan tersebut sedang dilaksanakan. Kemudian mintalah peserta untuk mulai melengkapinya sebagai suatu peta, dimulai dengan menggambarkan jalan di depan tempat pertemuan tersebut, dan langsung menggambarkan jalan-jalan utama desa yang selanjutnya diikuti dengan batas-batas desa dan landmark lainnya.
  9. Kemudian dalam proses melengkapi peta tersebut mulailah melakukan probing terhadap isu-isu yang mungkin berkaitan dengan konteks perlindungan anak. Misalnya ketika peserta menggambarkan sekolah, mulailah untuk menanyakan berapa banyak anak yang sekolah dan yang tidak. Lantas tanyakan pula mengapa ada anak yang tidak sekolah? Apakah orang tua membantu anaknya kalau mengerjakan PR? Apakah orang tua akan marah jika anak tidak sekolah? dll.
  10. Probing tentang isu perlindungan anak juga bisa dilakukan melalui masalah yang lain. Seperti misalnya ketika peserta menggambarkan tentang kebun atau ladang yang banyak di desa tersebut sebagai mata pencaharian utama warga, bisa saja kemudian dipertanyakan jika mereka bekerja di kebun atau di lading seharian, siapakah yang menjaga atau memperhatikan anak di rumah? Apakah orang tua mempercayakan pengasuhan anak-anak mereka kepada tetangga sekitar rumah? dsb.

Teknik PERINGKAT KEMAKMURAN (WEALTH RANKING)

Teknik ini pada prinsipnya juga membantu masyarakat untuk mengenali kondisi kehidupannya dan menegaskan adanya posisi sosial yang berbeda di masyarakat. Pengunaan teknik ini memang relatif lebih sulit daripada teknik pemetaan sosial, karena teknik ini juga akan membahas isu yang sebenarnya juga sensitif yakni masalah kemiskinan. Namun jika dilakukan dengan berhati-hati dan terencana, justru teknik ini akan jauh lebih efektif dalam mengelaborasi isu sensitif lainnya, dalam hal ini adalah isu perlindungan anak.

Langkah-langkah kerja

  1. Sama dengan teknik sebelumnya, hal pertama yang harus dilakukan adalah mengundang peserta pertemuan melalui tokoh formal / informal di desa setempat untuk berkumpul di suatu tempat yag representatif. Representatif artinya nyaman bagi pelaksanaan diskusi (tidak berisik karena berada di samping pasar misalnya, dan juga tidak terlalu banyak pengganggu bagi diskusi) dan juga mudah dijangkau oleh semua peserta.
  2. Mempersiapkan bahan-bahan dan alat bantu, diantaranya: kertas plano, spidol warna, makanan ringan seperti misalnya kacang goreng atau kacang rebus yang nantinya akan digunakan sebagai ukuran proporsi masyarakat desa tersebut, dll.
  3. Membuka pertemuan dengan santun dan menjelaskan maksud dan tujuan pertemuan tersebut. Contoh yang paling sederhana adalah: “Ibu dan Bapak sekalian, terima kasih atas kehadiran dalam pertemuan ini. Tujuan kita berkumpul hari ini adalah untuk saling belajar tentang kehidupan Ibu dan Bapak sehari-hari. Kami ingin sekali mengetahui apa yang Ibu dan bapak alami dan kerjakan sehari-hari, dan kami berharap dapat mengambil pelajaran dan mungkin saja jika diizinkan dapat pula menceritakannya kepada orang-orang di tempat lain”. Yakinkan para peserta pertemuan bahwa hasil pertemuan ini tidak akan disalahgunakan untuk tujuan yang salah, melainkan untuk mencari kemanfaatan bersama.
  4. Mulailah menjelaskan pengkutuban atau polarisasi dalam kehidupan sehari-hari, bahwa ada siang dan malam, ada laki-laki dan perempuan, ada atas dan bawah, dan ada juga kesusahan dan kemudahan. Kemudian masuk ke bagian yang terpenting sebagai titi masuk dengan mengatakan: “ Ibu dan Bapak sekalian, dalam kehidupan kita bermasyarakat tentunya kita juga menemukan adanya orang-orang atau kelompok tertentu yang selalu atau lebih banyak mengalami kesusahan, dan sebaliknya ada pula orang-orang yang selalu mendapat kemudahan dan kesenangan dalam hidupnya”.